Antologi Puisi Devisi Sastra Teater Sabit
Sanggaramawijaya
1
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Mlaku kalem tanpo aling ing ndalem
Kricik-kemericik swara binggel ngacani
laku
Guletan jarik sutra ora nutupi alus
langsat kulit lan luhur budi lakumu
Piwejarmu digugutiru marang rakyatmu
Kilisuci, Oh Kilisuci
Gusar gelisah manakala Ayahanda turunkan titah
Menikah madu kehidupan, ujarnya
Sayembara diputuskan, syarat digagaskan, undangan disebarkan
Engkau Sang Dewi bak mawar merekah
Membius ribuan kumbang datangkan lamar
Tapi kau malah makin gelisah
Bangkalan, 16 oktober 2018
Kemelut
Suro
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Ing puncak dukur langit
Wong kang nyekseni janji diingkari
Angkara murka kependem dening weteng
gunung
Pertemuan di bawah gemintang
Sejukkan sukma yang gersang karena kerinduan
Dibalut jarik sutra tak menutupi indah rupanya
Mata teduh memandang tanah
Mengisyaratkan apa yang tersembunyi di dada
“Apa resahmu?” Kata Sang Pemuja
Apa inginmu duhai Dewi penguasa hati?
Dhahanapura gersang tanpa air kehidupan
Sumur-sumur mengering dalam pesta-pesta pernikahan
Sementara rakyatku kering kerongkongan dalam kehausan
“Bangunkan sumur di puncak sana,
bilamana kau ingin meminangku
untuk mandi hangat di malam pernikahan,
selesaikan itu sebelum fajar!”
Kata Dewi
Gundukan tanah tanpa harapan digali dengan nyali memuncak
Berkoar-koar pada bala iblis dan rekannya
“Bangunkan sumur di puncak itu untuk
dewiku!”
Di puncak gunung tiga perbatasan, di atas luas pengharapan
Disaksikan dewa-dewa, tertanam impian besar
Berlomba dengan fajar menaklukkan waktu
Ingikar pun pelan-pelan dimulai
Bangkalan, 17 oktober 2018
Balada
Sumur Ingkar
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Sumur yang tenang di
tengah nestapa
Sumur yamg membunuh dengan angkuh dan jenaka
Tentang Sang Raja
Dalam khianat cinta
Terkubur dia
Terbujur penuh luka
Dalam selendang sutra
Dari Dewi Sanggramawijaya
Sumur yang dibuat oleh tentara-tentara iblis
Merebut kasihnya
Sumur Suro yang murka
Pelan-pelan menjadi petaka
Kutukan geram luapkan luka
Angkara murka terpendam secara hina
dan Kahuripan berduka cita
Sanggramawijaya menolak takhta
Bangkalan, 21 Oktober 2018
Sanggramawijaya
II
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Ada macam-macam putri raja
Dengan segala hormat dan pesona
Cleopatra di negeri jauh sana
Pertahankan tahta, rakyat, dan jayanya
Lewat wangi wanita dan lembut candu bibirnya
Rayu-rayu panglima musuh dalam dekap, selangkangan tundukkan
kepala
“Tapi,
singgasana tak dapat dipertahankan, bukan?” Pesan terakhir sebelum ia mati
mengecup bibir kobra
Ada Elisabeth I
Dari negeri entah angkasa entah Eropa
Pertahankan tahta tanpa belaian pria
Ringan tangan pada rakyatnya
Percayakan segala pada akalnya
dihindarinya perang-perang
Menangkan sebaris tahta
Tanpa titisan darah setelahnya
Genggam perawan sampai ahir masanya
Lalu di tanah Jawa
Sanggramawijaya putri Prabu Airlangga
Ayu menawan paras rupawan
Tak tertandingi pesona indahnya
Diperbincangkan dewa-dewa
Jadi bisikan permaisuri raja
Mahamantri
harapan Jenggala
Kehormatan, cinta, rakyat, tahta,
ataupun belaian pria
Tak tergubris tunduknya pada dewata
Demi menebus salah langkahnya, lalu
abadi dalam tapabrata
Bangkalan, 22 Oktober 2018
Raja Kahuripan
Oleh: Fadilatul Khoiroh
Sri Maharaja Rakai Halu Sri Darmawangsa Erlangga
Anantawikramotunggadewa
Erlangga disebutnya
Tahta membentang sepanjang Brantas
berjalan
Dada bidang berpendar
Penguasa bersekutu dengan Dewa
Bermain bebas dengan jelata
Pertiwi indah bersulam air mata
Kitab-kitab digubah jalanya penguasa
Sri
Samarawijaya lan Mapanji Garaskan
Anak-anak titisan Arjuna
Merajut tahta dari bapaknya
Berseketu dengan apa? Setankah?
Ibliskah?
Hingga darah searah tak merubah
Pertikaian jalan kekuasaan
Sanggaramawijaya menepi dari singgasana seharusnya
Tapi siapakah yang paling merugi dari
semua?
Bangkalan,
05 November 2018
Sesaji Kelud
Oleh: Fadilatul khoiroh
Berpijak di antara tiga persimpangan
Bak permadani hijau, semburat asri
Saksi bisu kisah-kisah bermaksud tak
termaktub
Alam asri mengirim laju bumi
Pesta pora landa jagata
Kail-kail berlapis emas mengundang
Kepala bertanduk legam hitam, anyir tak
bernyawa
Meneteskan bening-bening dari mata
Bias cahaya sepanjang jalan pelataran
Merdu suara sepanjang lagu dinyanyikan
Pelan-pelan ia ditenggelamkan
Bangkalan,
5-11-2018
Sudut
Jelata Kediri
Oleh: Fadilatul khoiroh
Masa
itu benang sutra hanya diperuntukkan kaum raja
Jarik-jarik
dililit menutup kulit
Menyanggul
rambut hingga melenggkung
Mencuci
kaki lelaki di hari inti
Istana
hanya sebatas petak rumah beralas tanah
Merangkul
kendi turunkan air kali
Seduhkan
kopi setiap pagi
Menyusui
titisan-titisan pertiwi
Ia
berbisik pada diri sendiri
“Aku tak punya hak
berkata tidak pada lelaki! “
Waktu
bergulir
Di
tanah ini simpang lima telah megah berdiri
Kota
yang dikakangi, penyuplai cukai negeri
Pemimpin
monarki
Gelang-gelang
di kanan kiri
Busana
terang memikat hati
Lalu-lalang
kesana kemari
Perempuan
masa lalu
Tubuh
dan hati dalam tirani
Perempuan
masa Emansipasi
Semua
menunggu bukti
Zaman
berganti, menerka keputusan gender
Bangkalan, 08 November
2018
Pekikan Suara Menjelang Ajal
Oleh:
Fadilatul khoiroh
“Yoh, mbesuk bakal
petuk piwalesanku seng makaping-kaping
Kediri bakal dadi
kali
Blitar dadi latar
Tulungagung dadi
kedung”
Kala
itu fajar baru saja menyingsing
Jeritan
dari lubang ingkar
Anak
manusia dtimbun bebatuan
Selaksa
peristiwa tergambar dari rumah kaca
Bagaimana
Sang Lembu jatuh hati pada Dewi?
Harapnya
terlalu indah untuk dikabulkan Dewa
Biar
tangis sesal mengaung hingga angkasa
Tetap
saja legenda wanita lembut bisa
memporakporanda tatanan Jagata
Bangkalan, 09 November 2018
Mengintip
Opera dari Kejauhan
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Langit-langit mulutku tak lagi gatal
Diam, terjerembab dalam keraguan
Aku lari dari hingar bingar
Berjalan, lalu duduk dan memejamkan mata
Tanpa alas dan peneduh
Mata, telinga, dan otakku merespon
Menjemput kelahiran-kelahiran baru
Opera Raja dan bau sungai-sungai menjelma babi
Melepaskan kesuburan dari kain-kain bersulam
Agar, nurani tetap pada tempatnya
Seorang pemimpin silih berganti
Langit dan bumi menanyakan keberadaanku
“Apakah tanganmu mampu menopang setiap
beban yang membukit, menenangkan seperti matahari, dan berdarah seperti
sejarah?”
Catatan penting kitabku telah hilang
Harapan tak ubahnya ingatan-ingatan masalalu
Bahwa hidup bukanlah tentang duka dan sia-sia
Bukan hanya persoalan siapa salah atau benar bukan?
Bangkalan, 16 November 2018
Pembelaan
Kilisuci
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Siapa yang licik?
Aku munafik atau kau yang naif
Kenali, sebelum datang kemari
Sudah jelas bukan? Apa yang tak terbaca oleh matamu
Aku lahir suci ditemani pijar api
Tanpa meminta jadi titisan dewi
Kerajaan adalah nafasku
Rakyat Kediri anak-anakku
Paduka Raja panutanku
Cukup!
Apa artinya persandingan
Lambangkan api suci mengitari altar
Persekongkolan percetakan keturunankah?
Atau paling tidak persatuan kelamin laki-laki dan perempuan
Aku ingin mati dalam darah suci
Tanpa pernah tersetubuh birahi laki-laki
Bangkalan, 11 November 2018
Kisah Tak Termaktub
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Aku
datang kala itu
Angin
takdir membawa sejarah
Kau
dan aku tersekat kelambu abu-abu
Membaca
siluet matamu, yang jatuh menyentuh tanah
Kebisuan
tak sampai pada ketegasan
Pesonamu
berkata langsung pada raga
Duduk,
kulepaskan panah dan jangkar di buah dadamu
Renda-renda
terbang ke angkasa
Terbenam
purnama berkaca pada rupa
Akankah
sukma mengambang bertemu raga
Kecamuk
dari apa yang tak biasa
Pion-pion rapi bermain peran di
perjamuan
Sedang aku beku terbius wewangian
Aku seperti kisah cinta Rahwana sinta
dan Bandung Roro
Kisah cinta yang pergi pelan-pelan
Bangkalan,
21-11-2018
Jangan
Bangun
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Lembu Suro menggeliat di dalam sumur
Mungkin terbangun dari tidur
Karena ranjangnya di lereng gunung
Tanah yang ranum bisa gugur
Jadi orang-orang mengirim kembang dan
lagu tidur
Juga sepenggal kepala untuk pelipur
Pikirku, apa Lembu Suro akan kembali
tidur ?
Bangkalan, 24-11-2018
Tawaran
Alam
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Dekap suara hati
Mengalun dawai resah
Tanpa cermin lalu meraba
Tentang kemarin dan lusa
Bagaimana Kilisuci mengadu pada Dewa?
Tentang luka anak manusia
Melihat mulut ruang tak bergerigi
Berselimut tanah-tanah bebatuan
Di sana Kilisuci ingin berbaring, lantas bersuci, lalu mati
Bangkalan, 05 Desember 2018
Pelarian
Perempuan
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Lintasan jalan setapak, rumput menari di telapak kaki
Semilir angin mengantar kepergian
Setapak menuju lorong persinggahan
Mendaki bukit kekosongan, berjubah sepi
Tuan putri melepas kain suci beraksara
Dosa menjilat ludah, lidah berbisa
Drama pengingkaran terpahat dalam ironi kitab suci
Kian melangkah dalam kelam
Gong bergema dari dasar
Lilin-lilin padam di atas pemujaan
Kilisuci nanar
Pergunjingan takhta suara Dewa, semesta, dan jelata
Menyusri ilalang-ilalang
Sesaki dedaunan kelam
Mulut menganga tak bersua, tanpa gerigi
Kaki telanjang menggema sudut temaram
Kau ikuti petunjuk Dewa
Membius malam menerjang lalu berdiam
Tenang tanpa lawan, bersemedi berserah diri
Bangkalan, 07 Desember 2018
Roda
Takhta
Oleh:
Fadilatul Khoiroh
Tuture Raja paribasan dewa
Abdi ora duwe aji
Tuture ati ora iso mati
Kilisuci, Lembu Suro, Erlangga hikayat
Kediri
Urip ditata ati-ati
Ora kepontang-panting edane jaman
Pemimpin ora duwe aji
Ajining raga mung saka busana
Bedhes macak dewa
Bangkalan, 07 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar