Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Dongeng Penyair Bir

Gambar
Oleh:  Kopet Petteng (Di ruang tamu. Meja sebelah kiri, di samping kanan kursi. Kemuidan Masuk dengan sinden Madura. Membawa miras yang sudah di salin wadahnya pada botol plastik. Setelah itu behenti. Dan memandangi meja kemudian ke kursi itu. Memindahkan kursi lalu Duduk). Sekarang orang-orang sibuk dengan titah kebenaran! Merasa dirinya yang paling hebat! Padahal membunuh kekuatan nafsunya saja hal paling sulit. Bagaimana tidak! Dari matahari terbit sampai tenggelam hanya bersanding dengan kebohongan!  Dari bulan mulai berangkat hanya memikirkan keunggulannya saja! Tak ada yang merasa tidak mampu! Bahkan mendahului yang maha mampu! Seolah pencipta sudah menjelma dalam diri. Hampir dari semua orang sama, sama-sama merasa unggul dan dikuasai uang. termasuk diriku. (Merasa kecowa memanjat pada betisnya. Lalu dengan nada agak keras ia berucap) Hei, kenapa kau naiki betisku! kau tak bisa kalau tak ganggu , mala mini saja. Hei jangan ganggu aku kecowa gila. Ayo tur

Dua Cangkir Teh Saudara

Oleh: Syla Secangkir teh bagi Hanin selalu terlihat menawan dengan kepulan asap tipis yang menawarkan kehangatan. Menyesapnya sedikit demi sedikit membuat Hanin terbawa suasana damai akan kenikmatan serta kekhasan rasa secangkir teh. Namun tidak. Kali ini secangkir teh harus rela ia biarkan hingga menghambar. Tak panas namun juga tak dingin. Pupil mata itu. Betapapun Hanin merasa bahwa sebutir bola mata mampu menjadi mata pisau yang mampu merobek hati Hanin kapanpun si pemilik akan menghendaki. Seorang gadis dengan usia yang terpaut dua tahun menawarkan senyum terbaiknya kepada Hanin. Ia tak pernah berpikir bila senyuman itulah justru yang menjadi sebab musabab Hanin menghamburkan senyum diterpa sejuknya pagi. Ah tidak, bukan sejuk, melainkan dingin. Pagi yang dingin bagi Hanin dan gadis itu. “Aku tau sehangat apapun teh ini tak akan mampu menghangatkan hatimu pagi ini.” Ujarnya sembari menatakan posisi tepat di hadapan Hanin. Hanin tetap bergeming pada pikirannya. Ia benar-benar

Tiga Suara di Otak Kenanga

Oleh: Syla Jalannya disertai dengan ekspresi sedikit menunduk. Angin berlabuh di badannya begitu kencang hingga membuat badannya sedikit goyah. Sesekali ia menghela nafas panjang sambil tangannya seraya ingin memeluk dirinya sendiri. Perlahan matanya melihat hamparan tanah dengan banyak gundukan dan lekuk-lekuk batu tempat masa depan semua orang yang kerap disebut makam. Tubuhnya mencoba menentukan arah di mana lokasi Ibunya dimakamkan. Langkah kakinya seakan lemah akibat lelah menempuh perjalanan dari rumah hingga sampai pada peristirahatan Ibunya. Langkah kakinya terhenti seketika saat sampai pada lekukan nisan di depannya. Tangannya bergetar, ia duduk termenung sambil membelai batu nisan di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah. Badannya lemah, genangan air di kelopak matanya seakan ingin menumpahi pipi tirusnya tetapi mencoba ditahan. “Ibu, mengapa engkau membiarkan aku berjuang sendirian? Engkau membiarkan aku hidup bersama Ayah yang selalu berbeda haluan.

Mantra Alim

Oleh: Syla Tak ada yang merasa nyaman hidup di pinggiran sungai itu akhir-akhir ini. Sungai yang terlihat pertama kali pada  9 tahun silam, tepatnya pada tahun 2004 yang lalu selalu tampak jernih, bahkan para warga dapat bercermin ramai-ramai melihat wajahnya masing-masing. Sungai Avur Buntung namanya. Tak ada yang tahu mengapa dinamakan  demikian. Tak terkecuali Misbah-tokoh ulama yang cukup dikenal warga desa Cadas. Sungai itu mengalir tenang dan melintasi sepanjang desa. Misbah hanya melihatnya sebagai korban kejahatan manusia yang telah membuat rumahnya seperti rumah apung jika musim hujan tiba. Ia masih ingat betul dengan apa yang terjadi 9 tahun silam. Suatu pagi, terjadi pemandangan aneh di sepanjang hilir sungai Avur Buntung. Banyak warga berkerumun di sebuah titik pinggiran sungai. Terdapat bangkai seekor ayam  dan  dua ekor kambing mengembang di sungai itu. Bau yang timbulkan sontak membuat warga membungkam mulut dan hidung seketika. Para warga pun bergegas menyingkirkan ba

MENUNGGU BUS KOTA

Ia hadir setiap sebelum matahari muncul hingga sinarnya tergelincir di jalan raya. Memburu banyak kendaraan yang diberhentikan oleh lampu petanda jalan. Sasarannya tertuju pada pengendara mobil pribadi dan pemotor yang kebetulan berhenti di tepian karena mudah dijangkau oleh kakinya sambil meneduhkan badan di bawah bayang-bayang pepohonan taman kota. Terkadang pula ia menghampiri pengendara yang berpenampilan modis yang terlihat banyak uang. “Permisi, Om, saya numpang ngamen sebentar.” Ia terbiasa menyanyikan lagu yang entah milik siapa. Pakaiannya agak lusuh, rambut pirangnya jadi saksi terlalu lama ia terjun di bawah terik matahari. Bocah itu tidak kurus, tetapi juga tidak gemuk, senyum kecilnya manis dan kulitnya agak gelap. Posturnya seakan berbicara seharusnya ia masih sekolah. Entah apa yang membuat bocah laki-laki itu gemar menyanyi sambil menepuk-nepuk susunan kempyeng yang dipaku pada seruas bambu tua sedangkan ia seharusnya bersekolah di pagi hari. Satu yang pasti, para pe

Penadah Kecil

Tubuh gadis kecil itu tampaknya sering disentuh panasnya sinar matahari, terlihat dari warna kulitnya yang sawo matang. Matanya sering berkaca-kaca, bukan karena kesedihan, mungkin terlalu banyak tertawa akibat bermain dengan adiknya di pinggiran selat Madura sambil menghabiskan waktu. Tetapi ketika banyak orang datang ke pelabuhan, ia langsung mendekati orang-orang yang menghampiri pos penjualan tiket, menghampiri pemotor dan pemobil juga pejalan kaki yang hendak menyebrangi selat madura menuju dermaga ujung Surabaya. Tangannya menyasar kepada orang-orang yang sengaja menunggu kendaraan publik lautan yang kerap disebut kapal. Mungkin memang sudah rutinitasnya mengejar-ngejar orang yang terlihat menyakukan uang kembalian pembelian tiket yang sekiranya bernilai receh atau kadang tak terlalu berat dilepaskan dari kantong mereka, lima ratus perak misalnya. Penampilannya tak asing dipandang mata, ia berpakaian selayaknya gadis cilik pada umumnya. Tak terlihat kumal ataupun lusuh. Hanya sa

“Dakon” Sebelum Matahari

Sudah menjadi kebiasaanku memainkan dakon setiap pagi selepas aku pulang dari rumah Nenek tiga minggu yang lalu. Saat matahari masih sungkan berbicara pada awan, aku keluar dari rumah menelusuri gang kecil di sebelah rumahku untuk menemui Ina. Saat akan sampai, terlihat dari ujung gang ia telah semangat mengeluarkan tatakan empat belas cekungan kecil dan biji-bijian mirip biji kopi miliknya. Rumahku dan rumah Ina hanya dipisahkan sebuah gang. Tidak terlalu dekat, namun muga tidak begitu jauh. Hanya berjarak seratus meter saja.  Aku terus berjalan menyusuri dinginnya angin subuh. Ina tampak bersemangat melihatku semakin mendekat sambil senyum manis di bibirnya memanggilku. “Kau sudah bangun rupanya. Cepatlah kemari, aku tak sabar ingin bermain.” “Kebiasaan ini sudah jadi sinyal untukku bangun dan menemanimu, bukan?” Responku seketika melihat Ina antusias dengan dakonnya. “Aku antusias memainkan permainan ini dengan perasaan gembira agar aku dapat hidup bahagia juga.” Aku dan Ina dud

Lakaran

Sungguh, tidak ada yang paham tentang pentingnya pendidikan di desa itu. Bagi warganya, sukses adalah tentang bagaimana seseorang menghasilkan uang bagi keluarganya. Termasuk Hari yang memandang bahwa satu-satunya gambaran sukses adalah uang, terlihat dari semangatnya yang menggebu saat merantau ke luar kota. Wajar saja, Hari adalah pemuda desa yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi Zaid, pemuda yang merantau ke Surabaya untuk menuntut ilmu di salah satu universitas. Siang itu, Zaid memutuskan untuk pulang ke kampung Lakaran. Rupanya ia telah menyelesaikan Ujian Akhir Semesternya. Ia melintasi jalan setapak di pinggir aliran sungai dekat kebun bambu. Tampaknya ia pulang ke rumah karena sedang libur semester, menyapa beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, “Mari, Pak, Bu.” Akan tetapi, ekspresinya seketika terkejut ketika berpapasan dengan Hari di penghujung jalan saat akan sampai ke rumah

Penyihir Alung

Sudah sepekan lamanya tak terasa waktu telah bergulir. Tak sedetik pun terlintas dalam benakku tentang rasa apa yang menghujam nuraniku setelah kematian Karimah. Bagaiman sepi kini menyergapku. Malam merengkuhku dalam keheningan suasana gubuk reot tempat tinggal kamiaku dan Karimah. Bagimana setiap malam aku selalu mendengar suara dentingan sendok pada gelas seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh Karimah jika aku ingin meminum kopi pahit buatannya. Karimah, wanita yang selalu akrab kupanggil Rimah. Istriku yang bertubuh aduhai, semampai, dan lihai merayu-rayuku dalam urusan belai-membelai. Rimah yang selalu membiusku dengan secangkir kopi pekatnya di tengah himpitan ekonomi yang semakin hari terasa kian mencekik. Namun beruntunglah aku karena Tuhan sempat menyatukannya denganku, sehingga ia lah satu-satunya manusia beradab di muka bumi ini yang selalu dapat menentramkan jiwaku. Tak terkecuali saat Alungpemuda sialan itu yang berusaha mendekati Rimah. Tak jarang Alung yang melabeli d

Opera Tuna Rungu

Lama. Sudah sangat lama Jarwo melangitkan angan. Beberapa permasalahan sempat mampir mengusik syaraf otaknya. Sesekali ia memijit pelan sembari menggumam meski hanya sekadar berkomat-kamit tanpa ada orang lain yang dapat mendengarnya. Kemudian siulan lembut angin menerpa pelan jenggot tipisnya. Kian menambah rancu dalam pikiran. Ini bukan tentang skandal perselingkuhan dalam rumah tangganya. Namun juga tidak tentang desas-desus tentang akan dicabutnya sertifikasi bagi guru PNS. Permasalahan yang dipikirkannya saat inilah yang justru hampir membuatnya jijik menjadi peran seorang guru honorer. Ia hanya merasa gagal menyumbangkan ilmu kepada para anak didiknya. Beberapa bulan yang lalu, ketika Jarwo masih bersungut-sungut untuk membagi ilmunya kepada siswa SMP Blauk. Sudah dari kecil impiannya adalah menjadi seorang guru. Dianggapnya, seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang sarat akan pahala. Itu sebabnya, meskipun dulu ayah dan ibunya tak kurang usaha dalam membelokkan niatnya, Jar