ANTOLOGI SASTRA

ANTOLOGI SASTRA TEATER SABIT 2019 Oleh : Sahrul Maulana Andika Yoga Pratama Alfina Kurnia Putri Udik-udikan adalah tradisi melempar koin dalam rangka syukuran menyabut hari besar islam oleh masyarakat tebuwung yang semarak dan berlangsung setiap tahunya. Tebuwung sendiri adalah desa sederhana nan asri di pinggiran kabupaten gresik berbatasan langsung dengan kabupaten Laomongan dan Tuban, ketika mengulik kembali sejarah lahirnya tradisi Udik-udik, kita menenggok sejarah lahirnya desa Tebuwung yang tak lepas oleh sosok wanita penyebar islam bernama Nyi Ayu, disebut juga Nyai Roso Wulan dan Syarifah datang dari Demak ditemani Jaran Sembrani, lalu bertemu Mbah Jinggo Brahmana Hindu yang lebih dahulu menempati desa Tebuwung. Perjalanan Nyi Ayu dan Ornamen kebudayaan yang masih terus dilestarikan hingga sekarang, dikulik lagi menjadi potongan-potongan mozaik dalam antologi puisi cerrpen dengan gaya kepenulisan mereka masing-masing. Mentor Fadilatul khoiroh “Renungan Senja” Karya: Andhika Yoga Pratama Semburat mentari yang tampak kemerah-merahan hampir tenggelam di ufuk barat. Haripun mulai kehilangan terangnya. Sang kegelapan hendak beringsut menguasai pekatnya suasana malam. Camar yang berseliweran di bawah lapiasan atmosfer udara berlomba-lomba mengepakkan sayapnya untuk kembali ke sarang. Sementara itu sang induk berusaha mendahului kelompoknya tatkala mendengar bunyi ciap sang anak yang menyayat hati dari kejauhan. Menanti pelukan hangat sang induk dengan penuh kerinduan. Hanya senja yang mempertemukan dan kesunyian malam yang membuat sayap mereka saling berangkulan. Suasana Pantai Delegan riuh rendah dengan lautan manusia yang menjejakinya. Ombak yang bergulung seakan memaksa setiap kapal yang berjejeran rapi di pesisiran pantai untuk melepaskan tambatannnya dan membentangkan layarnya di lautan bebas. Sementara itu, karang tetap berdiam diri tak beranjak meski berulang kali dihempas oleh gulungan ombak. Hanya kata betapa setianya Ia. Bertahan walau terluka meski yang kesekian kalinya. Dengan angkuhnya pula angin berlalu lalang untuk menerbangkan partikel di udara. Mengundang liukan pohon kelapa untuk menari dengan gembira. Seakan angin ingin menunjukkkan aksi bahwa dirinyalah yang paling kuat diatas pijakan bumi. Namun, nyatanya Tidak! Masih ada badai yang mampu menghalau bahkan melenyapkannya. Aku termenung di sebuah tebing yang agak tinggi sebagai pemisah pantai dan laut. Aku berdiri dan menatap ombak yang terus menghantam karang tanpa ampun. Ku biarkan rambut sepinggangku terurai mengikuti gerakan angin. Entah mengapa pemandangan semacam itu tak mengalihkan penglihatanku untuk berpindah ke objek lain. Ingin rasanya aku menyaksikan pemandangan setiap senja itu bersama seseorang yang paling berharga dalam hidupnku, ibu, ayah. Dua mutiara yang tak akan dimiliki orang lain dan tak akan ada duanya bagiku. Perlahan-lahan aku menarik nafas dalam-dalam mengharap gumpalan luka didalam hatiku surut seiring tarikan nafasku. Namun, seakan harapan itu pupus termakan waktu. Tak ada berkas cahaya dalam kegelapan. Tak ada hulu yang berakhir di muara. Seakan semuanya sia-sia. apa yang harus kulakukan, pikirku. Aku memejamkan matakau tatkala aku melihat sebuah titik hitam dari kejauhan tepat di tengah lautan lepas. Makin lama makin tampaklah bahwa ia sebuah kapal dengan bentanga layarnya yang berkibar. Kulihat sosok pria dibalik kapal itu dengan sigapnya menggulung layar tatakala kapalnya hendak bersandar di tepi pantai. Dengan senyuman ia mengangkat beberapa ekor di tangannya tatkala sang istri dan anaknya menyambut dengan wajah berbinar di tepian pelabuhan dengan tawa bahagia. Anak itupun berlari memeluk sang ayah dan berusaha merebut ikan hasil taangkapan ayahnya. Aku berusaha mengalihkan wajah tatkala beradu dengan pandangan semacam itu. Betapa tidak? Hatiku bagi disayat sembilu. Diris-iris tanpa rasa kemanusiaan. Ribuan kilometer luas laut ditempat ini tak akan mampu mengukur rasa sakit yang tengah kukandung dilubuk hatiku. Lagi pula badai yang ada didalam hatiku belum separuhnya berlalu. Rintik masih membasahi dan selalu menebarkan aroma deritaku. Lingkaran tornado tergenggam oleh jemari ufuk barat. Aku menengadah langit, menaatapnya. Sembari mengangkat tanganku, aku ingin menggenggam bola raksasa itu. jika ia tak bisa membawa senja utukku. Maka aku ingin menjaringnya dan akan kubuat ia berputar mengulas waktu yang lalu dan mengembalikan semuanya yang telah direnggutnya. “Ayah...ibu...aku ingin menyusulmu, bawa aku bersamamu” bisikku pilu. Aku ingat bagimana ombak laut ini telah menggulung tubuh dua pasangan suami istri dua tahun lalu. Merenggut nyawa yang tak berdosa, lalu mereka meninggalkan sseorang anak yang masih duduk di kelas tiga SMA. Dan anak itu adalah aku. Aku tetap membiarkan sejak tadi sepoi angin menampar kulit wajahku. Tak perlu pula aku mengusap butiran mutiara yang bermuntahan dari pelupuk mataku karena angin telah suka rela melakukannya. Kembaali aku menatap laut biru nan elok itu, pikiranku kembali digelayuti oleh lamunan masa laluku, semua masih terasa hangat bak senja beberapa tahun bersama ayah ibuku. “Tuhan, hukum diriku! Aku kotor Tuhan, tubuhku sudah disentuh tangan -tangan setan. Hukum aku Tuhan..” aku meraba pundakku yang tertutup gaun putih yang memperlihatkan ketiakku. Aku menangis. Penyesalan sekarang sudah berada diujung mulutku. Hidup ini telah merenggut semua kebahagiaannku, mahkotaku, orang tuaku, bahkan kehormatanku. Gara-gara senja ini, ia telah membuat seorang janda beranak satu dengan hati yang luhur berubah menjadi seorang PSK hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Ya, janda itu adaah aku. Janda yang yang tinggal suaminya dikarenakan bosan terhadap istrinya, dan suaminya lebih memilih wanita lain daripada istrinya sendiri. “Aku janda yang malang Tuhan...hidupku sedari dulu dipenuhi kegelapan. Hukum aku Tuhan.” Aku kembali berteriak pilu, aku masih teeringat masa lalu. Suamiku tega-teganya meningggalkan aku dengan darah dagingya yang kukandung dirahimku. Dia memang sering merantau karena pekerjaan, bahkan dia berani menuduh anaknya bukan darah dagingnya. “Ya!! Senja ini telah merebut semuanya! Hei senja!! Kembalikan semua yang kumiliki” Makiku pada senja. Aku pikir memang senja ini adalah biang masalahnya. Gara-gara senja, aku kehilangan. *** Semenjak aku dicerai suamiku, aku bingung apa yang harus kulakukan untuk menghidupi calon bayiku. Aku janda yang malang, yang dipenuhi penderitaaan, bisa apa aku untuk menghidupi anakku nanti. Pernah aku memikirkan untuk menggugurkan kandunganku, tapi aku masih ingat ada Engkau Tuhan. Engkau akan menolongku bukan? Dengan perjuanganku sendiri tanpa seorang suami aku melahirkan anak perempuan yang manis mirip dengan wajahku. Kebingunganku semakin bertambah, bagaimana aku bisa menghidupinya nanti. Banting tulang aku mencari pekerjaan, menjadi pengamen, penjual asongan, bahkan seorang pembantu rumah tangga. Tapi itu semua penghasilannya masih belum cukup untuk menghidupi anakku. Hingga aku berfikiran untuk menjadi PSK. “Ya, tubuhku memang bagus. Wajahku juga cantik. Memang aku seorang janda, tapi wajahku bisa mengalahkan semuanya akan kujual tubuhku demi kehidupan anakku.” Ucapku berbinar waktu itu, saat aku menatap bayang tubuhku yang terpantul dari cermin. “Tapi PSK adalah perbuatan yang kotor. Tuhan akan membenciku, lagipula orang tuaku tak pernah mengaajarkan itu. Tapi jika aku tidak begitu, maka akan makan apa anakku nanti?” Sebelum aku mnejadi PSK, aku berada di dua pilihan. Seperti mati atau merdeka. Disisi lain bayangan wajah orang tuaku hadir, dan di satu sisi aku memikirkan tentang masa depan anakku. Aku mengehela nafas bingung, aku gusar, aku mondar-mandir di depan cermin untuk mendapatkan sebuah keputusan. “Ah sudahlah, lagipula ini semua demi anakku, aku harus rela tubuhku dipegang bukan muhrimku.” Dengan berat hati dan perhitungan. Saat itu aku memilih menjadi PSK. Untung saja aku mempunyai teman yang menjadi PSK. Kudatangi dia malam itu, dan esoknya aku menjadi PSK. Menjadi PSK bukanlah hal yang mudah, dimana tubuhmu disentuh dengan pria-pria berhidung belang, berhadapan dengan orang-orang yang kehausan akan seks, dan kau disuruh melakukan hubungan seks tanpa ada rasa suka sama suka. Waktu aku melakukan persenggamaan, aku membayangkan wajah anakku. Wajahnyalah yang mampu membuatku iklhas melakukan ini. dia adalah penyemangatku, meski tubuhku dipenuhi rasa sensual yang menyengat bagai listrik, tapi aku tak pernah menikmatinya sedikitpun. Saat benda panjang berkulit membobol kemaluanku, aku hanya memejamkan mata dan menangis dalam hati. Pernah uatu kali aku merasakan kekerasan dalam permainan kotorku. Dalam bayangan hitam, sosok pria brengsek itu menghajar dan mempermainkan kemaluanku dengan biadab. “Menungging!!!” Ucap pelangganku malam itu. Dia bertubuh tegap, wajahnya sedikit garang. Dia menyuruhku menungging dan dia ingin memainkan kemaluanku dengan botol bir. Gila!! Aku tidak ingi lagi kemaluanku dijajah terus-terusan seperti ini. “Gila!! Aku tidak mau! Hentikan permainan kotormu!” Bantahku menolak. Aku tidak bisa membanyangkan jika benda itu masuk sepenuhnya masuk kedalam tubuhku. Tidak! Aku masih waras!!. “Hahahahaa dasar wanita jalang! Kau sebut aku kotor? Coba kau berkaca dulu? Kau itu hanya budak seksku, aku sudah membayarmu jadi kau harus menurut pada tuanmu Budak seksku! Menungging!!” Dia masih kekeuh dengan keinginn gilanya. Aku mengambil pisau yang ada lalu menodongkannya kepada pria itu. Dia tersenyum sinis padaku. “Melihat kau yang beringas, menambah gairah seksku jalang!” Dengan sigap dia merebut piasu itu dariku dan mengunci tubuhku dikasir. Gila!! Kekuataannya selbih kuat dari yang aku bandingkan. Percuma aku memberontak, tubuhnya saja tidak bergerak sedikitpun. Tanpa kusadari dia memasukkan botol itu ke dalam kemaluanku. Perih yang aku rasakan. Kemaluanku rasanya diobrak-obarik tanpa ampun. Aku hanya bisa menangis menahan sakit. Rasanya aku ingin mati saja. “Hahahaha jangan menangis sayang, tersenyumlah. Jika kau menangis, keerotisanmu semakin bertambah. Hahahah dasar jalang!!” ucapnya lalu menggigit bagian punggungku. Aku hanya bisa menangis, dia seolah tuli akan tangisanku. Dan mengacuhkan kepedihanku. Dan ia terus menghujamku seperti ia mengawini hewan. “Tuhan aku adalah manusia kotor. Jangan hukum aku Tuhan.” Hanya itu yang aku ucapkan dalam hati saat pria-pria berhidung belang mulai menciumku, merabaku, menjamahku, dan memasuki tubuhku. aku hina! Ya aku hina!! *** Aku masih ingat betul puing-puing masa laluku saat aku menjadi PSK dulu dan gara-gara aku menjadi PSK, anakku sakit beberapa minggu. Mungkin ia terlalu banyak memakan uang haram dariku. Aku ini ibu apa? Memberi anaknya makanan haram dari hasil keringat persenggamaan tanpa ikatan pernikahan. Waktu anakkku sakit, aku sudah menghabiskan uangku. Sudah kubawa dia ke dokter terbaik, tapi dia enggan untuk sembuh. “ Riyah,bawalah dia ke sumur Mbah Irim yang ada di desa Tebuwong. Katanya airnya sangat mujarab. Siapa tahu anakmu akan sembuh setelah meminum airnya.” Usul tetanggaku yang iba melihat kondisi anakku. Aku ingat akan cerita itu. lalu kupustuskan membawa anakku ke sumur itu. Benar, iya benar anakku sembuh setelah beberapa hari kemudian. Aku bahagia, anakku bisa tertawa seperti bayi lainnya yang berumur 9 bulan. Namun, tawanya menghilang beberapa minggu kedepan. Senyum itu menjadi diam tak bergerak. Tangan dan kakinya yang dulu lincah, kini berubah menjadi kaku. Ya, anakku mati mendadak. Tak tahu apa penyebabnya. Aku menangis saat itu. lagi-lagi senja telah merenggut semuanya. Mungkin ini hukumanku dari Tuhan, ini adalah cara Dia menegurku agar akau berhenti menjadi PSK. Aku menangis sambil menggendong anakku yang tertidur pulas. Aku menagis saat menatap wajahnya yang damai ketika tidur untuk selamanya. Bagaimana aku sekejam ini pada anakku? Membiarkan darah kharam mengalir di tubuhnya. Ibu macam apa aku ini? ku cium dahi anakku. Ku lihat-lihat wajahnya, memang benar wajahnya mirip denganku. Aku tersenyum, kembali meratapi nasibku. “Kenapa ayahmu sampai menyia-nyiakanmu nak? Kau sangat lugu, tapi kau harus menangggung akibatnya juga. Maafkan ibu.” Ucapku megelus rambut anakku untuk terakhir kali. Wajah itu, wajah yang mirip denganku tidak akan lagi kulihat. “Maafkan aku Tuhan.” Kata yang telat terucap, kini terlontar setelah semua menjadi bubur, semuanya terlambat. Mulai kematian anakku, aku memutuskan berhenti menjadi PSK dan menjadi janda yang malang. Aku Riyah, seorang janda malang, mantan PSK dari desa. **** “Riyah ayo pulang, hari sebentar lagi malam.” Tegur tetanggaku tatakala tak sengaja melihatku berdiri menyaksikan dan memperhatikan para tengkulak yang melayani para nelayan dihadapannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu. Aku berbalik badan dan mulai menjejakkan langkahku di atas pasir. Aku berbalik menatap air laut Pantai Delegan. Perlahan-lahan keramaian telah tertupi akibat senja yang telah berlalu. Malam mulai beringsut dengan suara music alarm khasnya yang mendayuu dari lemba ke lembah. Debur ombak yang memecah laut menghiasi keindahhan tempat itu. Tabur bintang diseantero langit laksana jutaaan lampion yang menyerbu udara. Dari kejauhan bunyi bedug magrib dari mushollah telah menyeru untuk kembali bersujud kepada sang Rabb. Dengan langkah terburu-buru aku dan tetanggaku menyusuri jalan terjal menuju rumah sederhana kediaman kami. Di rumah itu, aku tinggal sendirian tanpa ada tangis bayi lagi. Maafkan ibu anakku. “Rumah Itu” Karya: Andhika Yoga Pratama Aku selalu takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah. Keduanya terjadi begitu wajar sehingga hampir tak terasa seperti sebuah kejadian. Mungkin kita pernah mempertanyakan tentang pertemuan dan perpisahan, tapi pernahkan kita benar-benar mencoba menjawabnya tanpa mempersalahkan nasib? Seperti halnya kelahiran dan kematian, pertemuan dan perpisahan saling mengait begitu rapat dalam jalinan waktu yang berjalan begitu perlahan, seakan diam, membujuk kita untuk ikut bergerak dan berubah tanpa sadar, tanpa melawan. Kita mengahdapinya dengan pasrah, dengan hati yang kalah. Kita tahu, tanpa keduanya takkan ada cerita, takkan ada sejarah. Mengapa dua orang harus bertemu dan mengapa harus berpisah? Tidak ada yang bisa benar-benar tahu jawabannya sampai keduanya benar-benar bertemu dan benar-benar berpisah. Ini adalah pertaruhan yang adil antara kita dan waktu. Bagian untuk mengerti hanya akan terjadi setelah kita menjalani. Aku tak tahu banyak tentang rahasia kebijaksanaan waktu, tapi aku sadar bahwa dia melumatkan kita dengan tekun dan setia. Kita bertemu lalu untuk berpisah hari ini, dan berpisah hari ini untuk bertemu di masa depan. Kita menjadi bagian dari siklus jagat raya yang diurai untuk dibentuk kembali. Seperti sebuah lingkaran, kita tak pernah bisa menandai secara pasti waktu atas keduanya. Kita hanya sadar setelah keduanya selesai terjadi, tanpa bisa menjelaskan. Kita hanya manusia, kita mungkin mampu menerka pertanda dan meraba makna, tapi kita tak pernah benar-benar yakin akan apapun. Karena kita selalu berubah, kita tidak pernah pernah menjadi orang yang sama setiap hari. Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah, tak pernah ada yang sama. Seandainya kedua-duanya dijadikan pertanyaan, aku tak tahu aku harus menjawab apa. Aku sudah bertemu banyak orang, bahkan perpisahan itu cukup mengoyak kepalaku. Namun, aku tak pernah yakin untuk melepaskan apa yang pernah kumiliki. Karena melepas berarti melupakan, dan melupakan adalah penderitaan. *** Aku menaikkan kerah jaketku yang bewarna merah mudah. Dinginnya malam menaikkan bulu kudukku. Tak ada yang mengejarku, namun aku berjalan cepat-cepat, seakan sedang berpacu dnegan bayanganku pada trotoar. Aku memang selalu berjalan cepat-cepat, entah itu sedang terburu-buru, atau malah sedang santai. Teman seperjalananku selalu bilang aku ini berjalan cepat seperti laki-laki, cepat, bersemangat, dan serampangan, aku tidak pernah ambil pusing, karena sebenarnya ketika berjalan aku selalu sibuk dengan diriku sendiri. aku hanya menikmati rasanya berjalan, selebihnya aku tidak begitu perduli, toh aku juga bisa menikmati yang lain-lain itu besok, mereka tidak pernah kemana-mana. Berjalan kaki cepat-cepat, bagiku, hanyalah cara untuk bersembunyi kedalam diriku tanpa harus terlihat aneh. Ketika berjalan cepat-cepat, orang-orang tidak akan berani menegur atau mencoba menghentikan langkahku untuk hal-hal yang remeh, simply karena mereka akan mengira bahwa aku punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Kalaupun ternyata mereka cukup bodoh dan tetap menegur, aku masih berpura-pura tidak mendengar tanpa terlihat kasar atau kurang ajar. Dan begitulah, aku selalu mengasingkan diri dengan berjalan cepat-cepat. Aku merasa waktu seakan berhenti berputar-putar ketika aku mulai berjalan, semua orang seperti hilang dan aku menjadi satu-satunya suara yang bisa berbahasa. Aku merasakan duniaku berputar, dalam gerakakanku sendiri, lepas dari gravitasi. Aku menjadi diriku sendiri dengan merdeka. Malam ini, seperti biasa, aku berjalan kaki pulang melewati jalan di depan rumah itu. rumah yang berpagar besi dan dicat hijau itu. Halamannya rimbun sekali, terlalu rimbun malah, sehingga membuatnya terlihat seperti hutan. Sontak aku berhenti, mataku melotot penuh kebingungan. Mendadak alunan memori kelam berputar-putar menghantam otakku. Tetang seorang gadis kecil penuh luka sayatan di sekujur tubuh, tentang wanita sekitar 40-an menyayat tubuh gadis malang itu, dan tentang darah segar yang mengallir di tempat kendi penuh dengan dupa-dupa. “Jangan lari Silvy! Kau harus turuti kata ibumu!” Gendang telingaku terasa pecah, ketika mengingat memori kelam itu. aku terduduk lemas diatas trotroar dengan tangan yang menutup telinga. Aku menangis histeris, mengapa kenangan itu tak pernah mau lari dari hidupku? “Jangan ibu, aku gadis yang baik. Tak mungkin aku menjadi gila karena mitos-mitos itu.” Sang gadis yang tersayat, memohon ampun mengemis kepada wanita yang asik menyayat kakinya. Perih, itu yang dirasakan sang gadis. Namun seolah-olah tuli wanita itu mengacuhkanku. Masih teringat jelas dalam otakku saat aku berlari mencari angin bebas. Teringat saat aku berlari menuju hutan, namun ibuku tak pernah menyerah mengejarku. Dan aku berhetilah di ujung jurang. Ya, di ujung jurang itu adalah saksiku menatap kematian ibuku yang tragis. Dengan mata kepalaku sendiri, saat ibu hendak menangkapku mendadak sekelebat bayangan hitam mendorong tubuh ibu kejurang. “Aaaaaa” Teriakan ibu sangat keras dan berakhir dengan bededum yang diakibatkan benturan keras antara kepala dan bebatuan dibawah jurang sana. Saat itu aku memberanikan diri untuk menengok ke bawah. Dan apa yang aku lihat? Ibu sudah bersimpuh darah dan matanya melotot. Aku yang sangat syok saat itu, hanya bisa menutup rapat mulut mungilku. Tak lama kemudian, terdengar suara tertawa wanita yang wujudnya tidak kasat mata. Aku bingung dan ketakutan, smeua rasa tercampur menjadi satu. Karena kebingungan, akhirnya mataku tertutup perlahan. *** Aku berdiri dengan mata merah yang menyala. Sudah cukup kenangan hitam itu menghancurkanku, masa kecilku telah hilang, karena sebuah mitos dan kepercayaan. Masa kecilku bagaikan kertas putih yang ditaburkan lalu dibakar dengan api yang berkobar. Iya, gadis kecil itu adalah aku. Dan wanita itu adalah ibuku. Aku masih ingat betul bagaimana tumpulnya pisau setan itu menyayat kulit mulusku, aku masih ingat wajah ibu yang kesetanan saat melihat darah segarku merembes keluar. Ibuku orang yang taat pada ritual-ritual yang berabau keghoiban. Akibat ritual itu, dia terjebak dan tak bisa keluar. Dia terlalu percaya dengan mitos Nyi Ayu di desa Tebuwong kami. Kata orang, jika ada cewek yang cantik dan melebiihi kecantikan Nyi Ayu, maka celakaklah dia. Namun bukain itu yang dimaksud, melainkan hanya gadis yang berpenampilan berlebihan saja yang akan celaka. Tapi aku? Aku hanyalah gadis malang yang tidak tahu apa-apa. Tapi mitos itu telah membutakan pikiran ibuku. Ya. Dia percaya dan akhirnya menggunakan ilmu hitamnya padaku dengan alasan melindungiku. Tapi bukannya terlindungi? Malah masa kecilku yang berantakan. Untung kejadian itu tak berlangsung lama, ibu telah terbujur kaku di bawah jurang. Aku menatap kasihan pada jasad ibu, ingin aku menolong tapi ini menyangkut nyawaku. Jadi aku biarkan saja ibu mati dengan sendirinya dan tak lama kemudian aku tak sadarkan diri.. *** Aku bangun dari dudukku setelah ku hembuskan nafas dan kenangan itu menghilang. Ku tatap tajam rumah bekas kejadian itu. Lalu ku baca do’a, supaya arwah ibu tenag disana. Ku hembuskan nafas lagi dan membenarkan bajuku yang agak berantakan. Ku ambil ranselku yang terpelanting tadi. Ku lirik ke kanan dan kekiri, untung tidak ada pandang mata yang menangkap kejadian gilaku. Lalu mataku menatap lurus kedepan, kumasukkan tanganku disaku jaket. Dengan santai, aku berjalan meninggalkan rumah itu dan kembali ke rumahku. Ya, aku memilih membangun rumah yang selokasi dengan rumah setan itu, agar aku bisa mengingat masa-masa kekejaman itu. Aku kembali berjalan dan mencoba santai, seperti tidak adaapa-apa. “Hujan dan Merah” Karya: Andhika Yoga Pratama “Aku benci hujan,” Gerutuku dalam hati. Udaranya selalu berhasil membuatku menggigil. Apalagi suarannya, bisa kau dengar? Bergemericik, membuat bulu kuduk siaga. Seperti malam ini. Bibirku terus menggerutu, jika bukan karena temanku Rifki yang mendesakku agar aku mau ikut acara sedekah bumi di desaku, mungkin aku sudah tertidur pulas. Dasar sahabat kecilku yang egois, memang aku akui dia hyperaktif tapi tidak bisakah dia membiarkanku memejamkan mata sejenak? Sama halnya saat ini, dia mengajakku untuk mengkuti salah satu rentetan acara sedekah bumi. Iya, sedekah bumi adalah bentuk ucapan syukur kami atas kekayaan bumi yang kami dapat. Dan acara ini pasti dilakukan di setiap tahunnya. Kakiku terus melangkah menembus rintik hujan yang terasa menggigit. Kenapa aku tidak membawa payung tadi sore, sial. Dasar pelupa. Seharusnya aku juga memakai jaket tebal bukan sweater tipis seperti ini. Tidak seperti malam sbelumnya, hari ini terasa lebih sepi. Padahal baru jam 7 malam, bisanya acara sedekah bumi sudah ramai. Ahhh. Aku meratapi nasib. Bukan saja karena sekarang seluruh tubuhku basah oleh air hujan tapi tenggorokan juga rasanya banjir oleh air liur. Kepalaku celingukan, tidak ada kendaraan yang bersiwelan, aneh. Mungkin mereka juga berfikiran sama denganku, merasa kesal karena hujan memupuskaan keinginan mereka untuk berkeliaran. Aku adalah orang yang takut menyeberang. Situasi ini benar-benar menguntungkan, sehingga aku tidak perlu melihat ke kiri dan ke kanan saat akan melintas ke seberang. Tak sengaja mataku menangkap sosok gadis kecil berambut panjang sepingggang tengah duduk menunduk di pinggir jalan. Aneh. Sepertinya sudah beberapa hari aku melihat gadis kecil ini. Seharusnya anak kecil ini sudah ada di rumah bersiap berfantasi ke alam mimpi. *** Aku benar-benar merasa aneh dengan gadis ini. Setelah beberapa ku amati, memang wajahnya seperti pernah aku lihat sebelumnua. Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal, mencoba mengingat-ingat, tapi tetap saja aku tak mendapatkan jawaban apapun. akhirnya dengan perasaan ragu, aku memilih duduk, perasaanku tidak enak. Kalau dilihat umurnya sekitar sembilan tahunan. Rambutnya panjang dengan poni yang menutup kedua matanya karenaa menunduk. Aku tidak bisa melihat matanya, sedang terbuka atau tertutup. Rambutnya bewarna coklat kemerahan, seperti sudah terlalu lama terkena paparan matahari. Bajunya kumal. Suasana terasa mencekam. Sunyi sepi. Ditemani gemericik air yang jatuh, suaranya menggugah imajinasi horor yang aku ciptakan sendiri. terutama setelah melirik gadis cilik yang masih menunduk di sbelahku. Aku membayangkan seringainya, atau saat dia ceikikan dan tatapan matanya yang bewarna merah. Spontan aku menelan ludah. Sepertinya imajinasiku terlalu liar, sehingga aku bergidik ngeri. Farel! Berhenti berfikiran negatif. Bagaimana jika anak ini tidak punya rumah untuk pulang. Ketakutanku berubah kilat menjadi rasa iba. Aku memutuskan untuk memecah keheningan. “Dek, kamu kok belum pulang?”Hening. Dia tidak menjawab. “Nunggu hujan reda ya?” sunyi. Dia masih bungkam, tapi aku tidak mau menyerah. “Hujannya jahat ya? Masa sampai jam segini belum juga reda. Kakak juga sama kejebak. Mana dingin lagi.” Kedua tanganku memeluk diriku sendiri agar bersikap tenang. Hujan sialan. Aku masih tetap menyalahkan hujan yang terus mengkonfrontasi otakku untuk berfikir tidak rasional. “Pergi!!!” tiba-tiba gadis kecil itu berteriak, membuat tubuhku melonjak ke samping. Gadis itu menunjukkan wajahnya. Tidak ada yang aneh, matanya tidak merah. Aku mengelus dada. Dia seperti gadis seumurnya. Namun, kata-katanya begitu dingin dan pandangannya begitu tajam, dia melotot ke arahku. Aku menelan ludah, mencoba melupakan fantasi tentang mata yang berdarah, gigi runcing dan tawa ceekikikan. Tapi aku tidak bisa menepisnya. “Jangan salahkan hujan!” dia masih berteriak kepadaku. “Tapi...aku..tidak..” aku gelagapan menjawab pertanyaanya. “Jangan ganggu aku lagi!” bentaknya yang sudah ada di hadapanku. Rambutnya yang tergerai panjang tertiup angin ke belakang, begitu pula dengan poninya. Kini aku bisa melihat seluruh wajahnya, dia terlihat kucel. Aku tidak mengerti, bertemu dengannya saja baru hari ini. aku mencoba mengelus kepalanya, tapi dia menghindar. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi aku merasa sedikit aneh, wajah gadis itu sungguh pernah aku lihat sebelumnya. Tapi siapa dia?. “Adik kecil, kakak ini baru bertemu denganmu” tanyaku untuk memastikan bahwa pemikiran ku salah. “Kamu selalu bilang begitu!,!” bentaknya lagi. “saat kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Kamu selalu mengulang kata-kata tentang hujan.” “Aku tidak mengerti.” Kataku pasrah. Memang benar aku tidak ingat apapun. Dan aku baru saja bertemu dengannya. Dia menyodorkan sobekan koran yang ada di saku belakangnya. Aku membaca headline-nya. Seorang remaja pria tertabrak mobil saat menyeberang jalan hendak menemui sahabat kkecilnya yang sudah melambai di sisi jalan kiri. Aku terenyak ketika melihat foto seorang remaja laki-laki yang berwajah tegas dengan tahi lalat di bagian dagunya. Astaga, itu aku. “Apa maksud semua ini?” Tanyaku dengan tangan bergemtar. “Kau sudah mati! Jangan ganggu aku lagi! Kau mati saat hendak menyeberang! Kau terlalu semangat untuk mengikutii acara sedekah bumi di desamu. Pergi kau! Jangan ganggu aku lagi!” mataku melotot tak percaya mendengar kata si gadis kecil. Mataku menerewawang ke seberang. Aku ingat, bahwa beberapa hari lalu, hujan deras mengguyur desaku Tebuwong seperti air yang sengaja ditumpahkan Tuhan. aku ingat bajuku basah kuyup saat itu karena hanya menggunakan sweater tipis dan aku ingat suara gemericik itu, suaranya tidak pernah berhenti mengusik telingaku. Aku sangat ingin menyeberang sampai keseberang, karena aku terlalu semangat untuk mengikuti rentetan acara sedekah bumi dan sahabat kecilku Rifki, sudah menungguku di seberang sana. Dengan cepat, jadi aku melintas tanpa melihat kiri kanan, detik berikutnya gelap. Lalu aku terbangun di sisi kanan jalan. Tidak! Aku menjatuhkan potongan koran itu. tidak. Tidak mungkin. Mendadak tanganku menjadi pucat dan keluar darah. Bahkan dari keningku juga mulai meneteskan darah. Tubuhku terasa sakit semua. Apa ini? apa yang terjadi pada tubuhku? ku rasa hidungku juga mengeluarkan darah. Tidak. Tidak mungkin, aku sudah mati!. Aku masih hidup. Aku masih bisa merasakan semuanya. Emosi, kesakitan hati dan kesepian tiada sepi. Bukankan kematian itu seharusnya damai? “Tidakk!” jeritku. Jerit melengking yang dapat memekakkan telinga. Tapi tidak ada yang bereaksi, sunyi. Seakan desa Tebuwong menjadi desa yang telah mati. Mataku menunduk ke bawah, genangan air itu berubah merah. Aku bukan kuyup karena hujan tapi oleh darahku sendiri. tangisku pecah saat melihat baju putih yang tersembunyi di balik sweater hitamku. Baju putih itu berubah warna menjadi kemerahan. Aku dapat melihat wajahku tercermin di bawah sana. Darah itu, terus mengalir memenuhi wajahku, air mata yang seharusnya bening, mengalir bewarna merah. Aku mengedarkan pandangan dan semuanya merah. Aku muak dengan warna merah. Gadis kecil itu menatapku nanar, tangannya mengusap pundakku perlahan. Aku membalas tatapannya, mencoba mencari jawaban atas apa yang terjadi padaku. Namun, dia hanya tersenyum simpul. “Jangan salahkan hujan dan warna merah, karena kamu mati ditangan hujan.” Dia berlalu pergi dengan gemericik lebat hujan malam ini. Sedangkan aku masih terpaku. Dalam hati aku memninta maaf kepada hujan. Hujan yang telah kucaci kehadirannya kini akan menjadi teman perjalanan. Entah sejak kapan suara gemericiknya menjadi merdu. Emmbuatku merasa damai. Perlahan ada kabut putuh menyelimuti tubuhku, lalu sinar terang menerpa tubuhku. seketika tubuhku menghilang secara perlahan, lalu aku tersenyum. Hujan mengajakku berbaur, melebur bersamanya menjadi satu genangan bernama kenangan. Terima kasih hujan. “Mata” Karya: Andhika Yoga Pratama Kata orang, datangnya cinta itu dari mata turun ke hati. Dan menurutku, itu benar adanya. Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Matanyalah yang mmembuatku jatuh cinta. Bola matanya yang bulat dengan iris yang bewarna coklat terang membingkai sempurna pupil mungilnya. Bulu matanya yang lentik dan tatapannya yang tajam namun sarat dengan keelembutan. Semua itu membuatku jatuh cinta dan iri. Iri karena mataku tak seindah matanya. “Aku suka matamu.” Kataku terus terang. “Dan aku suka apa yang aku lihat darimu dengan mataku.” Jaawabnya penuh misteri. Maksudnya? Aku tak mengerti apa maksud dari ucapannya tadi. Dan dia tidak mau repot-repot memberi tahuku. Aku suka matanya, teramat suka. Dan kau tahu, ternyata ia tak pernah menyukai matanya. Kenapa? Karena matanya bukan mata biasa. Matanya luar biasa. “Kamu tahu? Aku tak pernah menginginkan mata ini. Lebih baik aku buta daripada punya mata ini.” ia berkata dengan nada kesal. “Kenapa kau berkata seperti itu?’’ “Karena dengan mata ini aku bisa melihat apa yang tak pernah kau lihat. Dari semua yang aku lihat, saku tak pernah suak. Kecuali satu....” “Apa?” aku memotong ceritanya. “Kamu. Kamulah satu-satunya hal yang aku suka melihatnya dengan mata ini. Aku terdiam. Tak tahu apa yang harus aku katakan, aku tersipu malu tapi ada rasa bahagia yang menyusup ke dalam relung jiwa-jiwaku. Dan perlahan tapi pasti ada semburat merah jambu yang muncul di pipiku. Pada lain kesempatan, dia menceritakan apa yang ia lihat dariku. “Memandangmu itu selalu menyenangkan.” Ucapnya mengawali pembicaraan. “kenapa?” “karena aku melihat ketulusan di matamu, kelembutan disetiap gerakanmu dan kebahagiaan yang selalu mengiringi langkah kakimu.” Ia berhenti sejenak. Aku menunggu apa yang dia ucapkan selanjutnya. Lalu, ia bertanya “apakah kamu tahu bahwa kau sellau diikuti sepasang kupu-lupu?” aku menggeleng, aku tak pernah tahu kalau aku diikuti sepasang kupu-kupu. Kemudian, aku menunjuk sepasang kupu-kupu yang hinggap di samping tempat duduk kami. “Kedua kupu-kupu ini selalu mengikuti kemanapun kamu pergi. Dan satu hal yang harus kamu tahu, kupu-kupu itu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” “Benarkah?” “Ya.” “Lalu apa lagi yang kau lihat dariku?” “Aku melihat bahwa kau ditakdirkan menjadi jodohku.” Aku melotot tak percaya. Aku menemukan kedamaian disetiap kata-katanya. Tanpa sadar aku langsung memeluknya erat dengan penuh kenyamanan. “Hei, sampai kapan kau akan memelukku seperti ini? semua orang menunggu kita ikut acara udik-udikkan bukan?” aku membiarkan ucapannya sejanak. Lalu melepaas dan tersenyum. Aku ingat, di desaku saat ini ada acar udik-udikkan yang diikuti semua kalangan. Aku dan Reza, tak pernah melupakan momoment itu. meski kami sudah berusia 21 tahun, tapi kami tetap setia mengikuti cara itu. karena itu sudah menjadi tradisi desa kami. “Baiklah.” Aku mencubit hidung mancungnya. Rika, kekasihku tersenyum, aku langsung menggeretnya masuk ke mobil. Setelah kami masuk, aku menancapkan gas mobilku dan melaju sangat kencang. *** Siang ini, dunia berkabung. Langit mendung dan raja siang enggan menampakkan diri. Mataku memebengkak sebesar bola tenis, aku terlalu lelah untuk menangis. Sudah cukup banyak air mata ini tumpah mengiringi kepergiannya. Dia telah pergi meninggalkan dunia fana ini. meninggalkan aku sendiri dengan sejuta tanya tentang dirinya. Ku antarkan dia sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir, aku ingin memastikan dia tenang di tempatnya sekarang. Aku mengutuk keadaan. Pada saat aku merasa bahagia karea ia disisiku, selalu ada untukku. Mengapa Tuhan setega ini mengambil dia dari sisiku? Aku tak akan sanggup menjalani lika-liku kehidupan ini tanpanya. Tanpa mata ajaibnya, ini tidak adil. Aku merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan terlalu egois. Teganya mengambil dia tanpa permisi. Mengambil dia secara tiba-tiba. Terlalu mendadak. Masih kuingat jelas pesan terakhirnya saat di mobil ketika kami hendak pulang waktu itu, “Reza, belajar makna kehidupan itu lebih sulit daripada belajar ilmu pengetahuan di sekolah formal. Teruslah belajar dan janga pernah menyalahkan keadaan, meskipun aku tak ada lagii disismu. Berjanjilah, Reza! Berjanjilah padaku.” Kala itu aku hanya mengangguk menyanggupinya. Tak kuduga akan serumit ini menerima keadaan tanpa ada dia disisiku. Padahal aku sudah berjanji padanya. Ah, semoga saja ia meaafkanku atas semua ini. Aku mengurung diri kamar. Panggilan ayah dan ibu tak pernah aku hiraukan. Aku masih terus asyik meyalahakan keadaan dan takdir. Masih kuingat jelas hari itu. hari dimana mobil kami berdua terpontang-panting di jalanan, lalu menabrak sebuah beton besar di pinggir jalan dan masih kuingat betul darah segar yang mengair di dahinyaa, saat dia memanggilku namaku dengan lirih. Yaa! Semua ini karena truk setan yang meghantam mobil kami tanpa ampun. Ya, saat itu kami terburu-buru karena kami takut telat untuk mengikuti acara udik-udikkan. Karena itulah, truk itu menbrak kami. “Truk itu yang telah merenggut dia! Truk itu yang telah mengambil nyawanya! Truk itu telah mengambil kekasihku.” Aku menangis dan menyalahkan si truk. Karena terlalu lelah dan menagis, akhirnnya aku terlelap. Di dalam ketidak sadaranku, sepertinya aku bermimpi. Bermimpi bertemu dia. Dia datang dengan wajah berseri dan senyum manisnya. Sedangkan aku dalam keadaan menagis. Ia membelai rambutku. “Reza, bukankah kau sudah berjanji padaku? Mengapa engkau mengingkari janjimu. Tidakkah kau ingat perkataanku?” “Aku ingat. Selalu ingat. Tapi idak mudah melespakan kepergianmu begitu saja. Apalagi kamu pergi terlalu mendadak.” “Ingatkah kamu siapa penulis favoritmu?” “Ya, tentu saja aku ingat. Darwis Tere Liye.” “Bukankah ia pernah berkata, apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dri sisi yang pergi. Lalu mengapa akal sehatmu menghilang? Membuat kamu berani melawan takdir Tuhan. itulah sayang, teramatlah salah. Tidak seharusnya kamu melawan Tuhan. Dia menciptakan aku, engaku dan apapun yang ada di dunia ini. jadi sudah haknya untuk mengambil kembali apa yang sudah dia ciptakan. Tidakkah kamu mengerti Reza?” “Maafkan aku, aku terlalu menyayangimu. Itulah yang membuat aku sulit mengikhlaskan kepergianmu. Aku terlalu terbiasa ditemani kamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.” “Sekarang dengarkan aku baik-baik. Aku mohon padamu, belajarlah menerima keadaan, sesulit apapun keadaan itu. Pecayalah sayang! Aku harap setelah pertemuan ini kau menajdi lebih dewasa. Aku tidak butuh dan tidak suka tangisanmu. Tersenyumlah!” aku pun tersenyum. “Oh ya, satu lagi. Mulai saat ini matamu akan berfungsi seperti mataku.” “Kenapa?” “Karena matamu adalah mataku. Aku tidak ingin kau kehilangan penglihatan seperyyiku dulu. Gunakanlah mataku dengan bijak. Semoga engkau menajdi orang yang pandai mensyukri kedaanmu. Tenang saja, kau masih bisa bertemu denganku. Tapi tidak setiap saat, hanya pada saat aku mengingatkanmu.” “Terima kasih.’ “Sekarang pulanglah! Orang tuamu menunggumu.” Ia tersenyum lalu menghilang dengan kabut putih aku kembali ke duniaku. Mimpi itu benar-benar seperti nyata. Aku tersenyum. Aku membuka mata kaku menuju cermin, kutatap bayangku dari pantulannya. Ku buka mataku, ya mata indah itu menjadi milikku. Mata indah kekasihku, Rika. Aku menangis, dari bola mataku aku melihat bayangan Rika dalam diriku. Dia tersenyum menatakpu. Aku tah tahu, menagapa dia sampai rela mendodnorkan matanya padaku. Hatiku terasa tersayayat dan semakin perih. Tapi aku teringat pesan Rika dari mimpi tadi, aku harul merelakan takdir dan mencoba bersahabat dengan keadaan. Dengan hati yang ikhlas, aku mencoba berdamai dengan takdir. Meskipun Rika sudah tiada jasadnya, tapi disaat aku bercermin dan meilhat mataku, aku bisa melihat mata Rika yang indah. Mala Petaka” Karya: Andhika Yoga Pratama Dia berlari sambil membawa sebuah kertas bermap warna merah. Wajahnya sumringah, dengan pakaian serba hitam dan panjang. Cantik, hal yang pertama akan kita ucapkkan ketikamelihat gadis itu berlari dengan riang. Tangannya yang putih, memegang bagian bawah bajunya agar tidak tersangkut di sepatunya saat belari. Di depan pintu sebuah rumah, wanita tua rambutya terurai tersenyum bahagia ketiak bola matanya menangkap sosok gadis yang berkaria itu. “Ibu!” Teriak sang gadis dengan rasa gembira yang masih terpaut di wajah. Wanita yang bersender dipintu merasa dirinya dipanggil, langsung saja dia berlari mendekati si gadis. Tak perlu ba-bi-bu atau pikir panjaang, si wanita tua langsung saja memeluk si gadis saat si gadis sudah dekat dengan dirinya. Si gadis pun demikian, dia memeluk ibunya dengan sangat erat. Jangan lupakan tentang senyuman bahagia itu, ia masih mengalung indah di bibir tipis sang gadis. “Kau hebat Diana, kau lulus kuliah tepat waktu.” Ucap sang ibu kepada Diana, yang tak lain nama si gadis. Diana yang merasa dipuji sang ibu, dia hanya bisa tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya. “Tak sia-sia ibu membiayaimu kuliah.” Sang ibu kembali berkata sambil mengusap kepala anaknya yang masih tertutup topi wisuda. Diana mengendorkan pelukannya. “Ibu, ijazah ini ku persembahkan untukmu ibu.” Dengan haru, Diana menyodorkan ijazah kuliahnya ke tangan sang ibu. Bu Sri sang ibu, menerimanya dengan perasaan bangga. “Terima kasih nak, kau memang gadi yang pintar.” Bu Sri mencubit pipi gembil Diana. Sedangkan dia hanya bisa menggerutu manja karena tak suka dengan kebiasan sang ibu yang selalu menoel pipinya yang gembil. “Ah ibu, aku bukan anak kecil lagi.” Diana menepis tangan sang ibu. “Tapi di mata ibu, kau tetaplah anak ibu yang masih kecil.” Ucap bu Sri, dan Diana langsung memeluk ibunya secara spontan. Melihat tingkah anaknya yang lucu, Bu Sri hanya bisa tersenyum. *** Diana mondar-mandir memutari seluruh kota. Peluh terlihat jelas di wajahnya ketika dia berjalan di samping jalanan kota yang panas. Dia mendengus, kemana lagi dia harus mencari pekerjaan? Sudah banyak perusahaan yang dia datangi namu tetap saja tak ada mau yang menerimanya, padahal dia sudah mendapatkan ijazah S1. “Apa-apaan mereka itu? semuanya menolakku tanpa alasan. Padahal aku sudah mempunyai ijazah S1.” Gerutunya. “Apa ijazah ini hanya selembar kertas yang tak berguna? Sampai-sampai, aku ditolak semuanya.” Dia menggerutu lagi “Anjir!” Dia berbicara kotor dan kekesalannya pun terus bertambah. Hingga dia memutuskan untuk berhenti minum di warung pinggir jalan. Diana meneguk es tehnya dengan khidmat. Tenggorokannya yang serai tadi meronta-ronta ingin diberi perairan, kini sudah terasa sangat segar dan seperti terasa di surga. Ketika dia masih enak-enaknya minum es, tiba-tiba dia dikagetkan dengan kedatang teman lamanya dulu. “Kau kenapa Diana, kelihatan sangat susah.” Ucap temannya. “Ini Fir, aku bingung belum mendapatkan perkerjaan.” Aduh Diana kepada temannya yang bernama Fira. Fira hanya tersenyum lalu dia menawarkan pekerjaan untuk Diana. Dan pekerjaan itu menjadi biduan. Akhirnya Diana puns etuju asalkan dia mendapatkan bayaran yang besar. Diana mulai berkeringat dingin sambil giginya bergemeratak ketakutan, tangannya yang putih bersih memeluk lututnya sambil sesekali dia memanggil orang tuanya. Namun, tak ada satupun yang mendengar teriakan kecilnya. Dia menghela nafas mencoba untuk sedikit tenang, tapi suara cekikikan wanita tua itu masih terus bergema di daun telinganya. “Ibu tolong Diana, aku takut.” Rintih Diana yang masih berharap akan datang sebuah keajaiban. “Hahahaha! Diana, Diana, Diana Hihihihii.”Cekikikkan wanita tua yang tak tahu dimana wujudnya. Rupanya Dewi Keberuntungan kali ini memihak pada Diana. Karena ibunya terbangun saat tak sengaja mendengar teriakan kecil Diana. Sang ibu yang mendengar anaknya berteriak sambil menangis, dia langsung beranjak dari kasur sambil hatinya berdetak tak karuan. Ibunya panik bukan kepalang, dia berlari tanpa memperhatikan kiri kanan dan tak ia sadari kakinya terluka karena tak sengaja menabrak meja. Sang ibu berlari menuju dapur, mengambil segenggam garam lalu didekatkan ke mulutnya, tak tahu Bu Srini merapalkan apa pada garam itu. Bibirnya komat-kamit, seolah membaca sesuatu, lalu meniupkan udara ke garam itu. Dengan hati yang masih gusar, Bu Srini menuju kamar gadisnya itu. Sesampainya di depan kamar, Bu Srini berhenti sejenak. “Bismillah,” Gumam beliau sebelum membuka pintu kamar. Kreekkkkk Dia membuka pintu lalu melemparkan garam yang dia genggam erat-erat semenjak tadi. Wajahnya menampakkan semburat marah dan geram. Pyarrrr “Allahu Akbar!!” Teriak Bbu Srini sembari melemparkan garam itu. Dalam hatinya, dia berharap hal-hal ghaib yang mengganggu anaknya selama ini akan pergi bersama lemparan garam tadi. Mendengar ibunya datamg dan semburatan garam dimana-mana, Diana langsuung mendongak mencari dimana keberadaan ibunya dikarenakan kondisi kamar yang gelap gulita. Setelah manik matanya menangkap keberadaan ibunya, Diana langsung menghambur memeluk ibunya. Bu Srini pun mendekap anak gadisnya erat mencoba menenangkan, tangannya meraba dalam kegelapan mencoba mencari-cari letak saklar lampu. Setelah ketemu, lalu beliau menyalakannya. Plass!!! Lampu menyala,dan sekelebat bayangan putih tiba-tiba hilang terbang entah kemana. “Ibu, Diana takut. Wanita itu datang lagi.”Adu sang gadis pada ibunya dengan nafas yang masih tak beraturan. “Sudah sudah, sekarang ibu ada disini. Coba tenangkan dirimu, ibu sudah ada disini.” Ucap Bu Srini mencoba menenangkan Diana sembari mencium pucuk kepala anak semata wayangnya itu. Mendengar saran dari sang ibu, Diana mencoba untuk tenang. Dan Bu Srini mengajak Diana untuk tidur di kamarnya *** Paginya, seperti biasa Diana bangun pagi-pagi sekali. Karena jobnya manggung hari ini sangat banyak. Wajar saja, dikarenakan Diana memiliki wajah yang cantik dan suara yang merdu. Sebenarnya Bu Srini tak merestui anaknya menjadi seorang biduan, namun Diana tetap ekkeuh dan tak mau mendengarkannya. “Nak, jangan pakai riasan seperti itu, tak pantas dilihat orang-orang, nak.” Kali ini, Bu Srini mencoba mengingatkan lagi dan berharap anaknya akan mengerti. “Ah! Apa sih Bu!! Namanya juga anak gadis! Sudahlah bu.”Bantah Diana setengah berteriak. Mendengar itu, Bu Srini hanya bisa mengelus dada dan menangis dalam hati. Setelah dia puas dengan riasan wajahnya dan tampilannya, Diana pun berpamitan pergi ke tempat dia bekerja. Seperti hari biasanya dia berangkat naik sepeda motor. Namun pagi hari ini, hati Bu Srini merasa tak tenang dan dia merasa akan terjadi sesuatu pada anak gadisnya itu. Namun dengan segenap hati, da menciba menghilangkan prasangka buruk itu. Belum sampai setengah perjalanan menuju ke sekolah, Diana mendengar cekikikkan wanita tua itu lagi. Diana pun takut bukan main, pasalnya suara itu semakin menggema dan menjadi-jadi di telinganya. Alhasil, dia berteriak kesetanan dan dikarenakan keseimbangan tubuhnya oleng, sepeda yang yang dikendarakannya pun jatuh lalu Diana masuk ke dalam got. Untung tubuhnya tidak apa-apa cuma lecet sedikit saja. Namun anehnya, Diana tertawa-tawa sendiri sembari menutupi kedua telinganya, seolah-olah dia menahan sesuatu agar tak didengarnya. Melihat kejadian itu, sang warga pun menolong Diana dan membawanya ke rumah. Sesampai di rumah, Bu Srini yang melihat anaknya digotong warga membuatnya kebingungan dan khawatir, apalagi melihat Diana yang tertawa sendiri seperti orang kesetanan. Bu Srini yang awalnya sedang menyapu halaman, dia langsung menjatuhkan sapu ditangannya dan berlari menghampiri gerombolan warga itu. “Diana anakku, kau kenapa?”Teriak Bu Srini saat sudah sampai di dekat anaknya, dia langsung memangku kepala anak gadisnya itu dan air matanya sudah berceceran di mana-mana. “Tadi anak ibu seperti ketakutan saat mengendarai sepeda motor, sehingga keseimbangannya oleng dan jatuh. Tapi anehnya, setelah jatuh dia tertawa sendiri seperti orang kesetanan.” Ucap salah satu warga yang membuat Bu Srini semakin menangis menjadi-jadi. Tiba-tiba.... “Assalamu’alaikum,” Datang seorang pria paruh baya memakai baju serba putih, nampak diia seperti kyai. Semua pun menatap orang yang baru datang. Entah kenapa, semua langsung tunduk dan menyalami tangan pria itu. “Pak Ustadz, tolong anak saya Pak. Dia mengapa seperti orang kesurupan pak?” Tiba-tiba Bu Srini memohon-mohon dihadapan pria itu yang rupanya Pak Ustadz. Pak Ustadz itupun melangkah mendekati Diana, entah mengapa Diana langsung berontak seperti kepanasan dan tertawanya semakin menjadi-jadi. “Astaghfirullah, kasihan cantik-cantik tapi sudah seperti ini,” Ucap sang Ustadz sembari memegang dahi Diana dan dia memjamkan mata lalu dia membaca do’a-do’a, tapi Diana terus tertawa. “Apa yang terjadi pada anak saya?” Tanya Bu Srini setelah Pak ustadz membuka matanya. “Anakmu sudah melanggar aturan desa ini, mengapa kau biarkan dia dandan melebihi batasnya? Apa kau tidak tahu soal Nyi Ayu? Nyi Ayu tidak suka dengan gadis yang dandanannya seperti ini!” Ucap sang Ustadz dengan nada yang agak naik. Bu Srinipun kaget mendengar penjelasan itu, dia semakin menangis dan memeluk anak gadisnya itu. “Lalu apa yang harus saya lakukan Pak Ustadz?”Tanya Bu Srini. “Maaf, kau terlambat. Anakmu sudah gila selama-lamanya karena ini adalah bentuk takdzim dari Nyi Ayu. Beliau benar-benar tidak suka dengan gadis yang jelek ahlaknya apaagi dandanan yang menor. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya.” Ucap sang Utadz lalu dia pergi begitu saja. Mendengar itu, Bu Srini menyesal. Mengapa dia tidak tegas dan melarang keras anak gadisnya itu berdandan seperti itu? dan dia menyalahkan diri sendiri karena lupa akan takdzim dari Nyi Ayu. Nyi Ayu dulu adalah orang yang disegani di desa ini, dia yang membawa ajaran islam ke desa ini dengan tampilan yang sederhana sehingga jika ada anak cantik yang dadanannya menor akan gila. Dan kini malah putrinya yang terkena takdim dari Nyi Ayu . Tak hanya Bu Srini yang menyesal, tapi Pak Yono dan seluruh warga menyesal karena lupa akan pesan dari Nyi Ayu dulu. Dan Diana? Kini dia sudah gila dan tertawaa dengan sendirinya Lorong Dekap Sunyi” Karya: Andhika Yoga Pratama Pembatas dua dunia Bisikan hanya penghidbur semata Mendera setiap jiwa-jiwa lugu tanpa berdosa! Aku tak berwujud Tapi delusi kata masih menggema Luluhkan kepercayaan Bangkalan, 8 Oktober 2019 Tersimpan” Karya: Andhika Yoga Pratama Alur berbaris rapi Tersimpan khasiat tanpa batas! Menyingkap keremangan jasmani Ilmu terserap nadi Penerang dalam keracauan Diputat kering kewarasan Sorot tajam Penuh perlindungan Bertamu tanpa undangan Bermailah sinyal rintihn Usai gelap pada titian Terbang persembahan doa Gresik, 16 November 2019 Rupa Kencana Karya: Alfina Kurnia Putri Duka nestapa Tawa terluka Perih bahagia Setan merajalela Sepanjang jalan nestapa Membawa derita berujung sengsara Mata berbicara, menyorot luka Rupa dirasa tak berdosa Menjadi pertanda mala petaka Bangkalan, 15 Oktober 2019 Kembang Melati Karya: Alfina Kurnia Putri Raga tertinggal nyawa Layaknya bunga kenanga sejajar tertupuk tanah Waktu yang tak pernah padam Ingsun petilasan sing agung kang dijunjung Bangkalan 20 Oktober 2019 Muara Suci Karya: Alfina Kurnia Putri Raga sakit akibat dosa, melebur entah kemana Pengobat luka, setiap insan Walau waktu yang telah usang Mengalir syahdu dalam deru kalbu Memercik lagu yang merdu Bangkalan 10 November 2019 Syair Cagak Burung Gagak Karya: Alfina Kurnia Putri Anane lakon mung nggawa Sukma, jiwa, lan raga Tirakad kena ragad manungsa Nangung sing kagungan alam dunya mung Gusti Allah Duh Biyung Mana lagi yang harus ku tempuh Hingga batas matiku Hambamu akan berikhtiar menegakkan cagak menuntun umat-Mu Bermunajat di sepanjang jalan sunyi Kaki melangkah diatas benang tipis Teriakan pendosa ketika malaikat Izrail bertamu Terimalah muhasabah setiap umat ini Menjunjung agama luhur umat jagad lan sawise bumi Kula nyuwun tulung gusti Bangkalan, 14 November 2019 Bunga suci Karya: Alfina Kurnia Putri Pendahulu telah berjanji Menggugurkan bunga yang mewangi Memancarkan indra Dikala setiap pundi-pundi terbagi Dalam pertemuan waktu yang terus menyatu Mojokerto 22 November 2019 Pistol Berkuda Karya: Alfina Kurnia Putri Puncak itu begitu terjal Bersama impian di malam minggu Melebam, layaknya mantra dari hitamnya hati tersayat pilu Suara itu terus menganggu Menakuti sang penjaga malam di jam malam yang berdetak rusuh Duar, etah kemana jantung itu Mojokerto 22 November 2019 Aspal Karya: Sahrul Maulana Hati memandang ikhlas Sementara mata mendengar kemricik tasbih Kesaksian kerikil-kerikil Durhaka bos laba-laba kepada jalan yang halal Segerombol orang asing terbahak-bahak Dalam sorak-sorainya menangis kesakitan Sedang wangi sajadah tersenyum Salam hormat kami, kerikil-kerikil Gresik, 22 November Rain Klakson udara Karya: Sahrul Maulana Simpang beranda penyakit menantang Sedang azan hari ke-enam mengumandang Waras bergegas jemuahan Penyakit mengusik kepergian Seperti malam waras terlelap Terbangun nyanyian penyakit Waras menyambut dengan pisau bersabit Alhamdulillah, penjahat sedang sakit Madura, 11 November 2019 Sanatana-dharma Karya: Sahrul Maulana Sembah para politeisme Puja kami kepada dewa Bertunduk dua tangan Untuk jama’ah tertua Dari kami perayaan suci Kesehjateraan irama dupa-dupa Mewangi dalam satu kendi Terlelap dalam danau sepi Bangkalan, 14 November 2019 Ilalang berkamboja Karya: Sahrul Maulana Rintihan hati masih pupus Terdengar dari ujung menur Dikala memekarkan rasa yang layu Dalam batu yang bertiti mangsa Memetik kehangatan jiwa Seusai ilalang-ilalang membatu Adalah do'a-do’a surga Sebab keranda masih berselambu Gresik, 22 November Barakallah Selambu hari pertama Karya: Sahrul Maulana Harokat meng-ayat dari kitab akhirat Kamboja membatu berselimut serambi Adalah umik-umik tauhid Untuk kunang yang bercahaya Bangkalan, 8 November 2019 Gelombang Lara Karya: Sahrul Maulana Celoteh bersuku amarah, Mengirama ke penjuru otak Dijawab puing-puing bercahaya, Suku-suku bersenandung ya ya ya Sakit belum sembuh Menjiwai waras Berbatin siksa Menangis berpenjara ya ya ya Madura, 15 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening