Cerpen Divisi Sastra "Si Bocah Sampah"

 Si Bocah Sampah

Karya: Ainil Inayah

 Jernih mata berwarna cokelat si bocah kecil kadang berlari ke kanan dan kadang juga berlari ke kiri menghindari kegelisahan saat telinganya terus-menerus dijejali suara-suara yang sebenarnya bukan menandakan apa-apa. Seperti suara ranting jatuh yang mungkin karena sudah tidak kuat menahan laju angin, juga suara botol kosong yang bergeser akibat tidak sengaja diinjak kucing. Tangannya masih terkepal di depan wajah untuk melindungi dari serangan rasa takut, tapi keringat dingin justru semakin mengucur di dahinya saat tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya.

 Ia masih ingat betul saat beberapa menit yang lalu tiba-tiba saja ia terbangun di atas tumpukan sampah, di sana ia hanya meringkuk, memeluk tubuh kecilnya sendiri. Tidak ada makhluk lain yang sedang berbagi harum sampah dengannya. Semua itu ia tangkap dari cahaya lampu jalan yang menembus kepalan tangannya dan hanya menyala dalam empat detik saja, kemudian mati dalam waktu empat detik pula pun begitu seterusnya.

“Hei, Bocah. Sedang apa kau sendiri disini?”. Telinga bocah tersebut menangkap suara asing. Tapi ia tetap meringkuk, justru semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kecilnya, tidak berniat merubah posisinya menghadap sosok yang memiliki suara berat. Sepertinya seorang pria. “Hei, Bocah. Apa kau tidak dengar? Aku bertanya padamu”. Pria itu kembali bersuara. Tapi kali ini dengan menarik bahu si bocah agar mau menghadapnya.

“Bocah. Buka matamu!”. Tubuh bocah itu semakin bergetar, ia menggelengkan kepalanya cepat. “Jangan takut. Aku ini pria tampan. Bukalah matamu!”. Mendengar kalimat nyeleneh pria tersebut, mau tak mau dengan perlahan bocah tersebut menjauhkan kepalan tangannya kemudian membuka matanya takut. Dan tampaklah seorang pria sedang tersenyum menatapnya.

 Alis bocah tersebut mengernyit, matanya memindai penampilan pria itu mulai dari rambut yang tampak rapi, kemudian bajunya juga bersih walaupun sedikit kusut, juga tangannya yang menenteng kantong plastik. Ia mulai mengingat-ingat apa di ruang mimpinya, pria itu pernah hadir di acara makan malam keluarganya. Atau mungkin pernah sesekali menjemputnya di sekolah.

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa sendirian disini? Apa kau tersesat? Katakan dimana rumahmu, biar aku antar”. Cerocos pria tersebut dan tidak ditanggapi oleh bocah kecil itu. Justru ia menegakkan tubuhnya, kemudian berbalik meninggalkan pria yang cukup cerewet menurutnya.

Tidak, Pria itu bukanlah keluarganya. Yakin bocah tersebut karena di keluarganya tidak ada makhluk cerewet seperti pria itu, keluarganya sangat menjunjung etika, semuanya harus menjaga etika. Dan cerewet tentu bukanlah etika yang baik. Itu bisa mencoreng nama baik keluarga. Setidaknya itu yang ia ingat dari mimpi yang selama ini mengusiknya.

Si Bocah itu tersentak saat si pria kembali menarik pundak bocah tersebut untuk menahannya agar tidak pergi. “Kau mau kemana, Bocah? Ayo aku antar. Tidak baik anak kecil sepertimu jalan sendirian malam-malam begini. Apa kau tidak takut jika ada hantu yang sedang ronda akan menyapamu?” Bocah tersebut menghela nafasnya kasar. Ia tidak suka dengan pria dihadapannya yang telah berani menyinggung hantu. Sepertinya ia takut hantu.

Dengan agak kesal, Si Bocah kembali melangkah. Tak kehabisan ide, kali ini pria cerewet itu berjalan di samping si bocah. Sepanjang perjalanan Si Pria cerewet terus saja melempar pertanyaan. Seperti kenapa kamu keluyuran malam-malam, apakah kamu tidak takut di tempat seperti tadi sendirian, dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang seperti tidak ada habisnya. Padahal si bocah tidak ada tanda-tanda untuk menjawab setiap pertanyaannya. Dan selebihnya ia menceritakan kehidupan bahagia bersama puteranya yang katanya seumuran dengan bocah tersebut. Sungguh menjengkelkan.

Sampai akhirnya si bocah kecil tersebut menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang lampunya hanya menyala di bagian teras rumah. Pria cerewet itu menoleh menatap si bocah. Ia dapat menduga bahwa rumah tersebut adalah rumah si bocah kecil di hadapannya itu.

“Sudah sampai?” Tanya pria itu memastikan. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari bocah itu. ia hanya diam memandangi rumah tersebut. Tak ambil hati, kemudian pria itu merogoh kantong plastik yang sejak tadi dibawanya. Tampak lidah pria itu melet dan alis yang sesekali mengernyit, menebak benda yang dipegangnya sudah tepat atau belum. Ia memilah-milah setiap benda yang ada di dalamnya dengan cukup kesulitan.

Dan… dapat. Ia mengeluarkan sebuah cokelat batang berukuran cukup besar dengan mata berbinar. Tak lama, ia memotek cokelat batang tersebut menjadi dua kemudian mengulurkan satu diantaranya pada bocah kecil yang menatapnya tanpa berniat mengambil pemberian pria cerewet tersebut. Tak menyerah, pria cerewet tersebut meraih tangan si bocah dan memindahkan cokelat tadi ke tangan kecilnya.

“Ambillah. Kata puteraku cokelat dapat merubah suasana hati seseorang menjadi lebih baik.” Ujar pria itu sambil memasukkan kembali potongan cokelat yang lain ke dalam kantong plastik. “Jangan lagi keluyuran malam-malam, orang tuamu pasti kawatir mencarimu.” Ujar pria tersebut sambil mengusap pelan kepala si bocah penuh kasih sayang. Kemudian ia pergi dengan berlari-lari kecil meninggalkan si bocah yang masih menatapnya hingga bayangannya menghilang di ujung jalan.

“Ayah yang manis” lirih bocah itu menengadahkan kepalanya menatap kilauan bintang.

Hingga beberapa menit berlalu, Si Bocah kemudian mengalihkan pandangannya ke salah satu jendela rumah tadi, di sana ia dapat menangkap bayangan perempuan yang sedang menimang bayinya. Ia menghela nafas panjang. Menunduk, menatap cokelat pemberian dari si pria cerewet dan menggenggamnya erat.

“Pulang”. Bocah kecil tersebut tertawa sumbang. Ia mengepalkan tangannya yang tidak memegang cokelat dan kembali berjalan, menjauhi rumah yang sedang diselimuti kebahagiaan.

Bangkalan, 8 Oktober 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening