Naskah Drama "Ritual Pelet"
“RITUAL PELET”
(Karya:
Syafaah)
Aktor
Musik :
Felisa,
Alfi, Syafaah, Suryadi
Aktor
Penari :
Agustin,
Rayyana, Inayah, Annisa
Aktor
Teater :
Emak
(dukun bayi): Eka
Menantu
(Ibu hamil): Hilwa
SCENE
1
Suasana tegang, lampu redup. Dibalik siluet
terjadi adegan pijat kandungan yang dilakukan oleh mak kepada sang menantu.
Sang menantu menjerit kesakitan dengan pijatan yang dilakukan oleh mak namun
mak tidak menghiraukan jeritan sang menantu.
Menantu : “Arghh.. Sakit Mak, ini sangat sakit
mak!
Mak : “Sudah, diamlah! Ini demi
kebaikanmu dan calon bayimu!”
Mak : “Alhamdulillah, pijat
berjalan dengan lancar. Sekarang. Mari kita merayakan tasyakuran”
Perayaan
tasyakuran berlangsung dengan sejumlah rentetan ritual pelet kandhung yang
disajikan dalam bentuk tarian. Mulai dari mengadakan doa bersama/selametan,
kemudian kyai akan mendoakan sesajen yang nantinya akan diminum oleh Ibu hamil
dan suami lalu mengguyurkan air yang sudah disiapkan ke badan ibu hamil, hingga
ritual siraman.
SCENE
2
Suasana
tenang, diiringi suara sinden yang bersenandung. Sang menantu duduk diruang
tamu sembari mengelus-elus perutnya yang sering merasa sakit semenjak pijatan
yang dilakukan Mak.
Menantu : (bicara dengan jabang bayinya) “Pintar
ya anak ibuk sekarang nendangnya, pelan-pelan anak nendangnya, sakit iniloh
perut ibumu.”
Hingga pada
akhirnya menantu merasakan kesakitan yang luar biasa hingga ia tak dapat
menahannya.
Menantu : “Ini kok tambah sakit ya, padahal
sudah tak bawa ke beberapa dukun pijat, tapi ini kok tambah sakit ya. Arghh..
sudahlah, mungkin tak bawa tidur saja siapa tahu mendingan.”
Sang menantu
berjalan kekamarnya dengan perlahan sambil menahan rasa sakit yang terus
bertambah diperutnya. Pada saat ia membaringkan tubuhnya ke ranjang, sesaat
kemudian ia merasakan sakit yang luar biasa hingga pada akhirnya iapun menjerit
kesakitan namun tidak ada yang mendengar. Ia terbangun dari ranjang dan
histeris melihat keadaannya.
Menantu : “Arrghh.
Apa ini? Tidaaaakk! Apa yang terjadi ini, darah? Darah? Kenapa ini?
Tidakkkk....”
Lampu
panggung utama mati disambut menyalanya lampu panggung tim musik dengan perlahan.
Tim
musik berada di panggung paling depan sebelah kiri (tempat MC biasanya). Dibuka
dengan iringan musik Jawa dengan diiringi sinden. (menceritakan tentang tradisi
Madura yang diberi nama pelet kandhung).
SCENE
3
Suasana tenang, beberapa tahun
setelah kejadian naas yang merenggut jabang bayinya akhirnya menantu dapat
hamil kembali. Kali ini keadaan sang menantu begitu sehat layaknya orang normal
yang tidak sedang dalam keadaan hamil. Di ruang tamu, ia menyapu dan
bersenandung dengan begitu bersemangat.
Menantu :
Tak bin-kabin peraben
tuah
Kabin
kadek sangghu ngandung, sangghu ngandung
Mon tak akabin taonan
Tandik anak sangghu mandul
Sareang ngah ghik bhuruh rembik
La esoro ngandung pole, ngandung pole
Dhing anak en pas atengka
Mak en ekocak tak genna
Wanita
itu menarik nafas panjang dan bergumam sambil mengelus perutnya. Kedua mata itu
terjatuh menatap perutnya yang besar, seperti wanita yang sedang hamil tujuh
bulan. Seketika wanita bertubuh kecil itu teringat ucapan Mak yang akan memijat
perutnya yang memasuki usia tujuh bulan.
Wanita itu tidak ingin dipijat karena takut Mak akan mengetahui kebohongan
besar yang sudah ia tutupi sejak lama.
Menantu : “Duhh kah.. Makkk Makk.. ini
sudah modern, tapi Mertuaku tetap saja pada pemikiran kolotnya. Apa gunanya Bidan
di desa kalau masih menggunakan cara-cara kuno itu. Yang benar saja,
kandunganku ini tergolong lemah kalau sampai dipijat apa yang akan terjadi
dengan calon bayiku? Lihat, lihat ini baru saja ku buat nyapu sebentar sudah
terasa kram. Padahal, ini bukanlah aktivitas yang cukup berat. Apalagi kalau
sampai dipijat, apa ndak penyet bayiku!”
Ia terus bergumam sambil melirik kedatangan
Mak yang membawa sayuran dari dalam rumahnya.
Mak : “Ngocak apah kamu, Bhing!
(dengan nada keras) siapa yang akan membunuh bayimu? aku, yeh? Oh,
gendeng! Aku akan jadi mbah setelah penantian panjang, lantas untuk apa aku
membunuh calon cucuku?”
Menantu : “Bunten, Mak, bukan begitu maksud
saya”
Mak : “Bukan begitu, bukan begitu apa? Ucapanmu
seperti aku akan membunuh anakmu. Kamu pikir aku sejahat itu?”
Menantu : “Bunten Mak, aku hanya takut
terjadi apa-apa pada calon bayiku. Apalagi ini anak kedua kami setelah kejadian
kelam itu, aku tidak ingin membuat kecewa Suamiku lagi, Mak,”
Mak : “Kamu pikir aku dukun pelet sembarangan?!
Kamu pikir jadi dukun pelet itu gampang? Asal kamu tahu, Bhing, jadi
seorang dukun pelet kandhung adalah titisan nenek moyangku dulu, tidak secara
tiba-tiba. Tidak semua orang diberi kemampuan menjadi dukun pelet kandhung. Dan
ingat satu hal, sebelum adanya Bidan, Dukun pelet kandhung lah yang membantu
persalinan. Bahkan, suamimu dulu dilahirkan ke muka bumi ini secara normal dan
itu adalah berkat bantuan Embahku yang menjadi dukun pelet waktu itu. Sekarang
ilmu itu diturunkan padaku dan ini adalah sebuah tanggungjawab besar.”
Menantu : “Tapi, Mak, apakah Mak sudah lupa
pada kejadian tragis yang pernah menimpaku? Bayiku hilang akibat ulah tangan
Mak!”
Mak : “Heh Bhing, kedingaghi
yeh! Anakmu mati karena ulahmu sendiri, kamu lok pertajeh pada satu
Dukun. Berapa kali Mak katakan untuk tidak gonta-ganti dukun pelet? Seorang wanita
yang sedang hamil hanya boleh dipijat satu orang dukun pelet, Bhing! Arapah
deiyyeh? Ngarteh heddeh arapah?”
Menantu : (menggelengkan kepala diiringi isak
tangis mendebarkan jiwa)
Mak
: “Polanah, yang ngerti posisi bayi itu ya dukun yang dipercayai itu.
Sedangkan kamu gonta-ganti dukun pada waktu itu. Bisa jadi dukun se
laen punya teknik yang beda dalam mengatur posisi bayi. Itu yang bikin
kandungan jadi keguguran. Lagipula, kamu reh seolah-olah lok pertajeh ilmu yang aku punya. Pelet kandhung tradisi baik
yang harus tetap ada! Apalagi aku seorang dukun pelet di desa ini. Apa
kata orang kalau tahu menantu dukun pelet tidak mau dipelet? Todus aku,
Bhing, TODUSS..”
Menantu : “Tapeh, Mak. Apa mak tahu alasan
mengapa aku pergi pijat ke Dukun lain? karena aku merasa pijatan yang Mak
berikan terasa sangat nyeri, hingga aku tak sanggup menahannya, aku takut
terjadi apa-apa pada bayiku Mak. Dan benar saja bayiku.. bayiku mati mak!”
Dengan
nada membentak sang menantu, sambil mendorong kepala sang menantu wanita tua itu menjelaskannya..
Mak : “Bhing! Rasa nyeri se
e geressah kamu jiah, karena itu adalah efek samping dari pijat yang
kuberikan. Tidak ada seorang pun dukun bayi yang mempunyai keinginan
menggugurkan kandungan Ibu hamil, apalagi ini calon cucu pertamaku. Aku tidak
segila itu!”
Menantu : “Tapeh,
Mak, Guleh mohon, untuk kali ini tidak lagi memijatku, Mak, aku
yakin bahwa kandunganku akan baik-baik saja tanpa tradisi itu.”
Mak : “Dari awal kehamilanmu,
sampai detik ini, aku tidak pernah menyentuh perutmu. Aku ini dukun pelet
kandhung di desa ini, aku juga ingin mengetahui bagaimana posisi cucuku saat
ini.”
Menantu : “Cucumu baik-baik saja Mak!
Mak : “Wes, endek tak endek, kamu
kodhuh e pelet,”
Mak pun menyeret menantunya ke dalam
kamar namun menantu menolak.
Menantu : “Pokok njek Mak, lok mau Mak.
Takut aku, kata bu Bidan
kandunganku lemah. Apa yang terjadi pada calon bayiku jika dipijat?.”
Mak : “Sudahlah, Bhing, ikuti
saja apa kataku. Toh, ini juga demi kebaikanmu dan bayi yang ada di dalam
kandunganm.”
Hingga pada
akhirnya terjadi gerakan saling menarik yang membuat gulungan kain yang ada
diperut menantu terjatuh. Sontak Mak kaget dengan keadaan menantunya yang
ternyata melakukan kebohongan besar.
Mak : “Ya Allah Kareem, Bhing. Astagfirullah Halladzim... ternyata bukan bayi
yang ada diperutmu, tega sekali kamu membohongiku Bhing” (sembari
melempar kain yang terjatuh dari perut menantunya)
Menantu : (Mendekati Mak dengan penuh tangis)
“Mak, Mak, Mak.. Saporanah Mak, gulleh salah.”
Permintaan maaf sang menantu tak
dihiraukan Mak, Mak mendorong menantunya hingga terjatuh. Mak duduk di sofa dan
meratapi kebohongan yang selama tujuh bulan telah dirahasiakan menantunya
dengan rapi.
Mak : “Duh, Gusti.. sia-sia.. sia-sia
lah engkok lok jadi deddih Embah” (tenggelam dalam isaknya yang
kian menyayat hati)
Mak : “Ya Allah, Bhing, ternyata
jiah bukan janin Bhing yang ada di perutmu! Tega sekali kamu
membohongiku”
Sang menantu masih tidak terima
dengan apa yang dilakukan Mak dulu. Pikirnya, apa yang Mak lakukan dulu adalah
kesalahan dari Mak, bukan karna tingkah cerobohnya yang malah gonta-ganti dukun
pijat.
Menantu : “kenapa Mak selalu menyalahkanku?
Bukankah Mak juga bertanggungjawab atas hilangnya bayiku dua tahun yang lalu, Ini
semua tidak akan terjadi jika waktu itu aku tidak kehilangan bayiku,”
Mak : “Tapeh, bukan begitu caranya.. sakek tang ateh, sakek, Bhing. Bukankah sudah aku
jelaskan ribuan kali bahwa bayimu meninggal karena ulahmu sendiri. Coba
jelaskan padaku, kenapa kamu melakukan kebohongan sebesar ini.”
Menantu : “Enam tahun kami menantikan buah
hati yang hadir untuk melengkapi kebahagiaan keluarga kecil ini, namun semua
bayangan indah itu lenyap diiringi peristiwa tragis itu, Mak. Tak terasa waktu
terus berjalan, hingga genap sudah dua tahun calon bayiku pergi dan kami belum
juga diberi anak. Aku takut Mak, Aku takut Mas Rohman memiliki
keinginan untuk menikah lagi. Aku lok mau dimadu, Mak! Mengingat, Mas Rohman
selalu bertanya kapan kehamilan keduaku tiba?”
Mak : “Bukan begitu caranya, Bhing.
Apakah kau pikir jika kau berhasil membohongiku dan Suamimu, kami akan
bangga padamu? Tidak, Bhing, lebih baik kamu berlaku apa adanya
daripada membuat Mak dan Rohman kecewa padamu. Aku pikir setelah menunggu kabar
baik ini selama delapan tahun, aku akan mendapatkan Cucu. Tapi, ternyata semua
hanya kebohongan. Benni bayi yang ada diperutmu malah justru.. sudahlah,
Bhing, kalau begini, onghhu todus aku, Bhing todusssss.”
Lantas sang menantu berdiri dari
sujudnya pada mertuanya..
Menantu : “Mak! Semua perempuan di dunia ini
sama, pasti ingin memiliki seorang anak, begitupun aku Mak! tapi kalau belum
diberi harus bagaimana lagi? Dan satu hal yang ingin aku pertegas Mak, Jika
nanti aku hamil lagi. Aku tidak akan mau melakukan segala ritual tetek mbengek itu!
aku akan menjaganya dengan caraku sendiri! Maafkan aku, keputusanku sudah bulat
Mak! Semua ini ku lakukan demi kebaikan aku dan jabang bayiku”
Mak : “Bhing! Astagfirullah
Halladzim.. yut Bhing, caen Heddeh. Mau atau tidak mengikuti tradisi ini, aku
yakin tradisi itu akan tetap ada! Mak yakin itu.. semua orang percaya bahwa
pelet kandhung adalah tradisi baik yang akan terus dilakukan orang-orang apalagi..”
Menantu : “Kalau memang tradisi itu baik
katamu? Kenapa bayiku mati makkkkkkk?”
Mak : “Itu karna ulahmu sendiri! Sepanjang
hidup aku lok pernah mendengar dampak buruk dari tradisi ini kecuali
karna ulahnya sendiri.
Black
out. Disambung dengan sinden dari Tim Musik sebagai penutup pementasan.
Komentar
Posting Komentar