GUGUR KEMBANG KAWI

 Naskah Teatrikal Puisi “ Gugur Kembang Kawi “

Aktor:

Andika Yoga Pratama ( Bayi & Mbah Irim ), Alfina Kurnia Puri ( Nyai Ayu), Syahrul Maulana (Iblis & Mbah Jinggo)

Musik:

Azhar, Fauzi, Fatwa Amalia, Ghufron 

Artistik:

Lighting (Via)  Properti (Erni ) Make Up (Niyut)

Sutradara:

Fadilatul Khoiroh (Dila)

Produksi:

Devisi Sastra UKM-F Teater Sabit 2019


Narasi Singkat

Naskah Gugur Kembang Kawi ini mengangkat asal muasal tradisi Islam di Desa Tebuwung yakni udik-udikan. Udik-udikan adalah bentuk rasa syukur  masyrakat desa tebuwung kecamatan dukun gresik. Bentuk tradisi ini adalah melemparkan koin yang kemudian diperebutkan oleh masyrakat tebuwung baik tua maupun muda dengan semarak setiap tahunya. Mengangkat udik-udikan tidak terlepas dari pembawa tradisi ini yakni seorang perempuan bernama Nyi Ayu, Syarifah dan Nyai Roso Wulan.

Nyai Ayu sendiri datang dari Demak dan berasal dari keluaga Kerajaan Islam Demak kemuadian melepaskan pakaian Kerajaanya dan lebih memlilih berkelana menyiarkan Islam dengan menyamar mejadi laki-laki dan menunggangi Jaran Sembrani. Dalam perjalanan ini Nyi Ayu datang ke Kebuwung desa asri di pinggiran Gresik dalam kedatanganya  Nyi Ayu di sambut oleh Brahmana Hindu bernama Mbah Jinggo. Karna kedatanganya terbaca akan mensyiarkan Islam maka terjadilah perdebatan selama empat puluh hari empatpuluh malah yang pada ahirnya dimenangkan oleh Nyai Ayu. Kemudian di diamilah Desa Tebuwung oleh Nyi Ayu hingga wafatnya.

Serpihan-serpihan Sejarah Desa Tebuwung tersimpan cantik dalam bentuk peninggalan dan mitos-mitos. Beberapa mitos yang masih dipercaya barang siapa yang lebih cantik dari nyai akan gila atau mati, lalu jaran sembrani yang masih bersuara menjelang pagi sehingga tidak ada satupun kuda hidup di Tebuwung. Kemudian dalam bentuk peninggalan Napak Tilas Makam Nyi Ayu dan Mbah Karem penerus Nyai Ayu, serta sumur Mbah Irem yang tidak pernah surut hingga terus dimanfatkan hingga kini dan menjadi sumber air minum Masyrakat dan penyembuhan penyakit. Dari potongan mozaik tersebut kami mencobah mennggah hasrat berkesenia dalam bentuk Teatrikal Puisi Gugur Kembang Kawi.


Taetrikal Puisi

“ Gugur Kembang Kawi “

 

Tokoh :

1. Nyai Ayu

2. Iblis

3. Bayi

4. Mbah Jinggo

5. Mbah Irem

6. Orang Buta

 

Latar

Berlatar hutan dengan satu pohon kering pada tengah agak belakang dimana seluruh danunya telah gugur, tinggal ranting-ranting dan dedaunan gugur disekitar, tepat di depan pohon Nyi Ayu duduk dengan resah memakai capil petani biasa, pada samping kiri Iblis berwujud Pangeran dengan kostum kerajaan blangkon dan mata hitam di sorot lapu biru, dan samping kanan bayi dalam posisi siap lahir dan disorot lampu merah.

Panggung masih dalam keadaan lampu mati musik gamelan pertama masuk, kemudian suara sinden.

Gugur kembang kawi

 

Gugur gunung gugur kembang kawi

Kembang agung kang kegowo angin

Alon-alon kepalayu mengentan

Mbabat angkoro reasehe menongso

Siro-siro tumindakmu becikno

 

Yang menjadi pemicu awal Iblis bergerak dari gerak leher dan kepala kemudian tubuh lampu biru menyorot pada titik awal pergerakan iblis, gerakan iblis mengimitasi gerak wayang orang, setelah pada titik cukup dekat dengan Nyai Ayu Iblis membacakan puisinya.

 

Nyanyian resah

 

Di tempat ini

Kau membawa kesyakralan

Sejukmu mengeri

Kewarasan menjadi mati

Cahayamu menjaga kami

 

Kemudian lampu meyorot Iblis mati, musik berganti lampu merah menyorot bayi yang mennggis dan bergerak-gerak. Surah kelahira terdengar nyaring diiringi  sinden.

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/290-surat-al-baqarah-ayat-30.html

elinga nlika Pangeran ngendika marang Malaikat: “Saktemene aku kepingin ndadekakke menungsa pemimping nang alam ndunyo “ . kiyambakipun sedhaya ngendik: “punapa panjenengan kersa ndadosaken menungsa pangarsa teng dunyo. Minagka priyantun ingakng badhe mesthi ngluhurake kanthi memuji panjenengan “ gusti alloh ngendika : “ mestine aku lluweh ngerti apa sing sampean ra ngerti “.

Bayi menggabrakan perjalanan hidup manusia dari lahir merangkak berjalan hingga berlari, kemudian bayi membacakan puisi.

Lorong Dekap Sunyi

 

pembatas dua dunia

bisikan hanya penghibur semata

mendera setiap jiwa-jiwa lugu tanpa berdosa

aku tak berwujud

tapi delusi kata masih menggema

luluhkan kepercayaan.

 Lampu mati musik berganti menyorot ke tengah pada posisi Nyai Ayu, yang sedeng duduk dalam resah-resahnya.

Nyai Ayu

 

Gusti... gusti.. gusti...

Tuntunlah hamabamu gusti....

Tak ada yang tahu

Sorot mata dibalik kain

Cantik parasnya

Tampan rupanya

Namun, malapetaka tercipta

Bukan mantra, kutukan ataupun azimat

Namun sifat iblislah

yang menjadikanya malapetaka

 

pada saat pembacaan puisi lampu menyorot jga pada iblis dan bayi mereka terus bergerak-gerak sepertiingin menguaasai Nyai Ayu satu sama lain, hingga ahirnya terjadi saling tarik menarik antara Iblis, Nyai Ayu dan Bayi musik semakin tegang hingga ahirnya jatuh terkapar semua lampu mati.

Babak ke dua dengan latar sama namun tempat tersebut telah menjadi tempat ibadah Mbah Jinggo dengan pertanda kendi pemujaan, kemudian Nyai Ayu datang dalam bentuk penyamaran, berkeliling memaastikan sekitar setelah merasa cukup, kemudian Nyai Ayu mengelar sajadah dan sujud syukur tepat di samping kendi pemujaan, ketika sedang berkonsentrasi dengan zikirnya Mbah Jinggo datang seperti akan melaksanakan pemujaan, namun kaget saat melihat ada orang muslim berada disana ada siratan amarah pada Mbah Jinggo, hingga kemudian merebut sajadah yang diduduki Nyai Ayu sonatak Nyai Ayu terkaget meskipun sudah memprediksi akan  terjadi demikian maka berdebatlah merka dalam syair :

 

Syair Cagak Burung Gagak

 

anane lakon mung ngawa sukma jiwa lan raga

tirakat kena ragat menungsa

nangging sing kanggungan alam dunya mung gusti Allah

 

duh biyung

mana lagi yang harus ku tempuh

hingga batas matiku

hamaba akan berikhtiar menegakakan cagak menuntun umatmu

bermunajat di sepanjang jalan sunyi

kaki melangkah di atas benang tipis

teriakan pendosa ketika malikat izrail bertamu

terimalah muhasabah hambamu

menegakkan gama luhur, umat jagad lan sakwise bumi

kulo nyuwun tulung gusti

 

 

Sanatana Daharma

 

semabah para politeisme

puja kami kepada para dewa

bertunduk dua tangan

untuk jama’ah tertua

 

dari kami perayaan suci

kesehjateraan irama dupa-dupa

mewangi dalam satu kendi

terlelap dalam danau sepi

 

Pada pembacaan puisi di bait ke tiga,empat, Nyai Ayu ikut duduk mengambarkan perdepatan empat puluh hari empat puluh malam, hingga pada ahirnya Nyai Ayu menngalungi tasbih pada Mbah Jinggo simbol penahlukan meskipun mbah jinggo tetap tidak terima , pada tahap ini lampu ketap-ketip gambaran ketegangan lalu mati.

Babak ke tiga sumur masuk sebelah kiri panggung Nyai Ayu di dalam  sumur sembunyi, di tengah panggung orang buta duduk menghadap penonton di atas tikar dengan bantal disampingnya, mbah irim adalah empu pengobatan yang datang dengan berbagai cara berusaha menyembuhkan orang buta ini ,  belum berhasil hingga ahirnya menimba sumur dan menterapi dengan air sumur orang buta ini berhasil sembuh, mbah irim yang dapat berkomunikasi dengan dunia lain berinteraksi dengan mahluk lain, mbah irim membacakan puisinya.

Tersimpan

 

alur berbaris rapi

tersimpan khasiat

tanpa batas

menyikap keremangan jasmani

ilmu teserap nadi

penerang dalam kerancauan

diputat kering kewarasan

 

sorot tajam

penuh perlindungan

bertamu tanpa undangan

berdamainlah sinyal rintihan

usai gelap pada titian

terbang perembahan doa

 

Nyai Ayu keluar dari sumur memberi kode agar si sakit yang sembuh bersedekah, mbah irim menyampaikan pesan kemudian keluar panggung, orang sakit yang sembuh setelah puas mencuci diri dengan air sumur kemudian  mengambil uang yang ada dibawah bantal dan melperkan uang-uang pada penonton sebagai sedekah, kama terjadilah udik-udikan.... musik bahagia lampu perlahan-lahan mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening