KESETIAAN SEORANG ISTRI

 Kesetiaan Seorang Istri

Oleh devisi Rupa

 

Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang wanita yang kecantikannya tak tertandingi ,beliau ahli tahajud/shalat malam. Seorang permaisuri bernama Syarifah Ambami dengan gelar Ibu Suri (Rato Ebhu dalam Bahasa Madura),Rato Ebhu adalah sebutan bagi setiap ibu suri/permaisuri, Syarifah Ambami merupakan keturunan Sunan Giri(Raden Paku/Prabu Satmoto), keturuan/generasi keenam Sunan Giri (cicit Sunan Giri), Pada generasi pertama yaitu Sultan Abdul Faqih yang mempunyai 10 orang putra-putri, salah satunya adalah Nyai Gede Sawo sebagai generasi kedua, lalu Nyai Gede Sawo mempunyai 4 orang putra-putri salah satunya Pangeran Waringin Pitu sebagai generasi ketiga, Pangeran Waringin Pitu mempunyai putra Pangeran Mas Penganten sebagai generasi keempat, Pangeran Mas Penganten mempunyai Putra yaitu Pangeran Ronggo sebagai generasi kelima, Pangeran Ronggo mempunyai 2 putri yaitu Syarifah Ambami dan Raden Ayu Inten. Syarifah Ambami disebut Rato Ebhu karena beliau adalah seorang ibu yang kuat dan tabah walaupun ditinggal sorang suami. Syarifah Ambami disebut dengan Rato Ebhu Nom(muda),karena Rato Ebhu tua adalah ibu dari suaminya(Cakraningrat I).

Suami Syarifah Ambami adalah Raden Praseno(Cakraningrat I). Cakraningrat I (Raden Praseno) adalah Putra dari Pangeran Tengah (Raden Koro), Pangeran Tengah adalah Raja Arosbaya, semenjak kecil Raden Praseno banyak menghabiskan waktunya di Mataram karena pada tahun 1624, Sultan Agung dan Pasukannya menyerang Madura, termasuk Bangkalan. Setelah Raden Koro wafat lalu digantikan oleh Pengeran Mas(adiknya) karena pada masa tersebut Raden Praseno masih kecil, karena Kerajaan Madura kalah, sehingga Raden Praseno yang masih kecil di boyong oleh panembahan kyai Jurukitting (pimpinan pasukan mataram)dan pamannya dari Magedan, Pengeran Sontomerto, ke Mataram. Raden Prasenapun di terima dengan baik oleh Raja Mataram yaitu Sultan Agung, Di Mataram Raden Praseno mengabdi dan di angkat oleh Sultan Agung dengan gelar Cakraningrat I menjadi pemengang kekuasaan di Madura, serta menjadi tangan kanan Sultan Agung. Di Madura beliau memegang kekuasaan di Kraton Madegan,Sampang. Ketika hidup di Mataram Raden Praseno di nikahkan dengan adik dari Sultan Agung sebelum menikahi Syarifah Ambami, akan tetapi Pernikahan Raden Praseno dan  Adik Sultan Agung tidak dikaruniai anak karena istrinya meninggal dunia. Kemudian Cakraningrat I pergi ke Madura dan menikahi Syarifah Ambami hasil dari pernikahan Syarifah Ambami dan Cakraningrat I (Raden Praseno) di karuniahi tiga orang putera: Raden Ario Atmojonegoro, Raden Undakan(Cakraningrat II), dan Raden Mertopati. Beliau juga memiliki anak 9 anak dari selirnya, salah satu anak dari selirnya asal Sumenep yaitu Raden Demang Maloyo ayah dari Pangeran Trunojoyo, istri Raden Demang Maloyo adalah krah/keturunan dari Jokotole.

Meskipun Pangeran Cakraningrat I memegang kekuasaan di Kraton Madegan(Sampang),namun beliau jarang tinggal disana, hampir sepanjang tahun ia tinggal di Mataram,karena sering kali diberi tugas dalam perluasan daerah kekuasaan Sultan Agung. Sehingga ia mendapatkan tempat tersendiri dalam hati Sultan Agung. Disisi lain Setelah Syarifah Ambami menjadi permaisuri Cakraningrat I, beliau sering di tinggal pergi oleh Cakraningrat I ke Mataram sebagai tangan kanan Sultan Agung, meskipun beliau di tinggal, beliau juga ikut memerintah kerajaannya di Sampang yaitu kraton Madegan, serta beliau suka meracik jamu guna untuk rakyatnya dikala menderita penyakit tertentu. Karena sering di tinggal pergi oleh sang suami, beliau larut dalam kesedihan, siang dan malam beliau selalu mengangis meratapi kesedihannya, kemudian beliau yang merasa sedih dan kesepian memilih untuk bertapa/tahajut di suatu bukit di daerah Arosbaya yang dikenal dengan Bukit Buduran. Disana beliau berpata/bertahajut meminta kesehatan untuk suaminya kepada Tuhan, Cakraningrat I dan meminta tujuh keturuanannya kelak menjadi raja penguasa Madura. Kemudian dalam petapaannya, datanglah Nabi Khidir AS, yang memberitahu bahwa keinginnannya akan terkabulkan bahwa keturunannya kelak hanya sampai 7 keturunan.

Kemudian Syarifah Ambami yang merasa bahagiapun kembali ke Kraton Madegan(Sampang) untuk memberi tahu kepada Cakraningkat I bahwa ia telah meminta tujuh keturunan dan  permintaannya tersebut kelak akan  dikabulkan. Namun saat pangeran Cakraningrat I kembali dari Mataram bukan rasa senang yang didapatkan akan tetapi kemarahan dan kekecewaan pangeran terhadap permaisurinya karena Sang permaisuri hanya meminta diberikan tujuh keturunan saja. Sementara itu Cakraningrat I ingin seluruh keturunannya kelak menjadi penguasa di Madura. Setelah mendengar akan kemarahan suaminya atas sikap suaminya. Betapa sedihnya hati beliau, beliau pun terus menangis Kemudian Syarifah Ambami kembali ke pertapaannya atas perintah suaminya Cakraningrat I serta beliau memohon agar kesalahan terhadap suaminya terampuni. Di sisi lain Cakraningrat I kembali ke Mataram, sehingga menjadikan perintah untuk bertapa adalah perjumpaan yang terakhir dengan Syarifah Ambami, sebab ketika berada di Mataram Cakraningrat I terbilat konfik dengan pangeran Alit, hingga Cakraningrat I meninggal di sana, dan dimakamkan di imogiri Yogyakarta.

Akhirnya dengan perasaan sedih beliau terus menjalani petapaannya hingga beliau jatuh sakit dan tak henti-henti  menangis dan menangis hingga mitospun berkembang bahwa tangisan sang pemaisuri membanjiri tempat petapaannya hingga beliau wafat di sana, dan di kebumikan di tempat petapaannya,Bukit Buduran Arosbaya. Tempat tersebut hingga saat ini di kenal dengan nama Makam AerMata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening