Bhantala Pate

 BHANTALA PATE

 Di sebuah desa pesisir bagian Timur pulau Madura, berdiri kokoh sebuah rumah bergaya tradisionalis Jawa “Joglo”, tempat berlindungnya dua insan yang telah terikat oleh janji suci itu dengan pohon besar di samping kanan rumahnya dan beberapa pohon pisang di samping kiri. Di halaman depan rumahnya terdapat dua pohon besar yang berdiri kokoh di kanan dan kiri. Tak lupa dua kayu yang cukup tinggi lengkap dengan tali yang menghubungkan keduanya tertancap di tanah tepat di depan halaman rumah bagian kiri sebagai tempat untuk menjemur pakaian dengan sebuah rok yang bertengger di bawah sinar rembulan bulan sabit. Kegelapan yang menyelimuti rumah sederhana itu tampak bersinar berkat adanya bulan sabit. Pepohonan dan rumput pun seakan menikmati belaian lembut dari sang bayu.

 Pada suatu sore menjelang senja, lautan yang menjadi sumber pencaharian warga sekitar nampak begitu indah. Beberapa pohon kelapa dan lainnya berdiri kokoh di tepian laut, siluet gunung yang tampak kecil dari kejauhan menjadi tempat sang jingga bersembunyi lalu digantikan oleh rembulan yang siap menerangi indahnya malam. Tepat di tengah laut sana, tampak seorang lelaki bercapil tengah mendayung perahunya ke tepian. Lelaki itu bernama Supri. Ya, Supri adalah salah satu nelayan di desa pesisir itu. Lelaki itu telah seharian penuh mencari ikan mulai dari terbitnya matahari hingga terbenam. Kini, lelaki itu tengah bersiap pulang dengan membawa hasil tangkapan yang lebih banyak dari kemarin sehingga ia bisa pulang dengan cepat dari biasanya. Lelaki itu pun tak henti-hentinya menorehkan senyuman di wajahnya, tak lupa juga bersyukur atas hasil tangkapan hari ini. Sesudahnya mengikatkan perahu pada batang pohon, Supri segera bergegas pulang dengan jala yang bertengger manis di bahunya dan ember yang penuh dengan ikan di tangan kanannya. Siluet Supri pun mulai menghilang seiring senja yang mulai diselimuti oleh kegelapan.

 Sesampainya di rumah, Supri langsung meletakkan jala dan ember itu di belakang rumah kemudian lanjut kedepan rumahnya. Pada saat Supri hendak masuk, dilihatnya sepasang sandal yang bukan miliknya ataupun istrinya. Tak ingin prasangka buruk terus hinggap di pikiranny, ia pun segera masuk namun secara diam-diam. Ketika di ruang tamu, ia tak melihat barang seorang pun duduk di sana. Akhirnya ia pun pergi ke kamarnya, sesampainya di sana, ia dikejutkan oleh tingkah dua makhluk yang tengah bercumbu mesra di hadapannya. Suami mana yang tak marah melihat itu, tampak sekali api amarah yang membara di wajahnya, aliran terangkat ke atas, urat-urat leher tampak jelas, matanya seakan hendak melompat dan kedua tangan terkepal erat sehingga tampak otot-ototnya yang kekar itu. Ya, Supri sedari tadi melihat itu dari balik dinding kamarnya. Supri yang tak tahan dengan tingkah mereka, memukul daun pintu kayu itu dengan keras hingga mereka terkejut dibuatnya. Kini, terjadilah adu mulut dari keduanya di ruang tamu.

Setelah kejadian itu, baik Supri dan Herman (laki-laki yang berani mencium istrinya) itu sama-sama berunding dengan para sesepuh dan keluarganya masing-masing. Mereka tahu benar jika ada kejadian ini, mereka harus mempersiapkan diri bila sewakyu-waktu Carok itu akan terjadi. Selang beberapa waktu, Carok itu pun terjadi. Sebelum bercarok, kedua pihak yang akan melakukan carok melakukan ritual minta restu terlebih dahulu kepada ibunya dengan mencuci kaki dan melewati kolongan kaki ibunya. Hari yang telah ditentukan pun tiba, Supri dan Herman mulai bertemu di hutan saat matahari mulai muncul dengan beberapa kerabat laki-laki yang menemani mereka. Carok pun dimulai hingga senja mulai hilang dari bumi ini, Herman tumbang di tangan Supri dengan luka di perut yang lumayan panjang, dan beberapa sayatan di lengan dan kakinya, sementara Supri hanya beberapa sayatan di lengan kanannya dan di punggung. Perlu diketahui, kemampuan bela diri Supri jauh lebih baik daripada Herman. Dalam Carok juga, jika salah satu ada yang terluka maka carok itu dihentikan kemudian dilanjutkan lagi apabila yang terluka masih ingin melanjutkan carok. Sebelum nafas Herman berhembus, ia telah menerima kekalahannya dan ia pun sempat meminta maaf. Carok pun berhenti bersamaan dengan hilangnya mentari.

Sampai di rumah, Supri langsung membersihkan diri. Suasana rumah kini jadi berubah setelah kejadian itu, mereka pun saling diam. Akhirnya Herman pun memutuskan untuk menceraikan Minah (istrinya), harga dirinya telah diinjak-injak sehingga ia tidak bisa menerima Minah lagi sebagai istrinya. Esoknya, tepatnya di sore hari, Minah diusir dari rumah, Minah tak bisa menolak karena ini pun terjadi karena perbuatannya sendiri maka Minah pun pergi, sebelumnya itu ia pun telah meminta maaf pada Supri dan dengan berat hati Supri pun berusaha melupakan kejadian itu dan memaafkan mereka. Bayang-bayang Minah mulai hilang dari balik pintu.

Di laut yang sama dengan tempat biasanya Supri meraup rezeki, tak jauh dari sana ada sebuah tebing yang lumayan tinggi dengan seorang wanita di ujungnya dan sebuah pohon di belakangnya. Tepat matahari mulai menghilang, bersamaan itu pula Minah melompat ke laut itu. Ya, sosok wanita yang berdiri di ujung tebing tadi adalah Minah. Setelah diusir oleh Supri ia sungguh merasa bersalah dan bingung harus kemana. Ia bisa kembali ke rumah orang tuanya tetapi ia tak mau mempermalukan keluarganya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupya dengan melompat ke laut. Seiring lambaian tangan Minah di telan lautan, matahari pun mulai tenggelam menyusul Minah.

SELESAI


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening