Dua Cinta
TAMAN
KOTA, PADA SUATU SORE. AS BICARA, SEAKAN IS --SAHABATNYA -- DUDUK DI DEKATNYA.
SEPI. BURUNG-BURUNG BERSIAP TIDUR DI SARANG. PADA KENYATAANNYA: AS, ADALAH JUGA
IS)
AS
Tidak.
Tidak. Makin lama aku semakin yakin, nasibku jauh lebih baik dibanding nasibmu.
Lihat seluruh wujud dirimu! Kamu nampak lebih tua. Padahal umur kita sebaya.
Aku yakin batinmu menderita. Salah sendiri, kenapa kamu pilih Sis. Apa dia?
Siapa? Apa hebatnya? Kaya? Luar biasa? Jenius? Nol besar. Cuma kantung nasi.
Banyak sekali kekurangannya. Dia sama dengan kekurangan. Gampang bosan, dan
waktu itu, lontang-lantung. Kantungnya selalu kosong. Bahkan dompet pun dia tak
punya.
Sis
parasit. Benalu bagi keluarganya. Dan aku tidak mau menikah dengan lelaki yang
jelas-jelas kasih isyarat tak akan mampu bertanggungjawab. Sekali benalu, sulit
diperbaiki. Masih begitu ‘kan dia sekarang? Aku tak percaya Sis sudi mengotori
tangan, bekerja banting tulang demi keluarga. Sis bukan tipe seperti itu. Dia
priyayi, menak, yang mengharapkan segala sesuatunya sudah tersedia di atas baki
emas. Tinggal mengunyah seperti kerbau. Lebih gemar bermalas-malasan, tapi
maunya selalu dihormati.
Sis
memang ganteng. Arjuna. Rama. Banyak gadis tergila-gila. Mabok kepayang. Lupa
diri, tidak peduli, asal bisa selalu dekat. Aku, kamu, Maria, Tuti, Meinar,
Dewi, dan masih banyak lagi yang kena jerat kegantengannya. Tapi wajah ‘kan
bisa berubah. Sekarang badannya pasti mulai gemuk. Perut buncit, rambut di
kepala rontok, menipis, malah mungkin sudah botak dia. Berapa gigi yang copot?
Sudah pakai gigi palsu? Jalannya? Kian lamban ‘kan? Pasti berbagai penyakit
datang. Darah tinggi, gula, asam urat, rematik, jantung. Entah bagaimana dia di
ranjang. Apa masih suka bikin kejutan, dan tiba-tiba menyerang? Atau, sudah tak
mampu lagi dia?
(TERTAWA)
Jangan
tersinggung. Jangan marah. Cuma bercanda. Kami belum pernah saling menyentuh.
Mimpi-mimpi remaja cuma kusimpan dalam benak. Jeratmu ternyata jauh lebih
ampuh. Sis menyerah, tak berkutik. Sejak itu dia tak mau lagi menengok
gadis-gadis lain. Cuma kamu. Aku akui, itulah hari berkabung bagi kami semua.
Hari ketika sumpah serapah meledak dan kamu dibenci banyak gadis. Nasib.
Takdir. Pernikahan kalian. Sialan.
Mungkin
takdir juga yang mempertemukan kita di sini. Tidak tahu, untuk apa kamu di
sini. Tidak tahu juga mengapa aku ke mari. Tapi aku tahu, dulu kalian sering
bercintaan di sini. Di bangku ini. Jangan salah sangka, aku tidak pernah
mengintip. Cerita itu sudah jadi rahasia umum. Kami sering menggosipkannya
dengan hati kesal dan cemburu.
Orang
bilang, kalian paling suka diam berjam-jam sambil berpegangan tangan. Duduk
rapat. Lalu dia memeluk kamu, membelai rambut kamu, menyentuh pipimu, kamu
memejamkan mata dan dia mencium bibirmu. Lalu adegan seperti dalam film-film
Barat kalian lakukan. Kamu sogok penjaga taman supaya kalian bisa bebas berbuat
mesum, sepuasnya. Kamu jerat Sis di taman ini, dengan cara kasar, taktik
murahan. Dan makin sering kamu rayu, semakin erat dia terjerat. Tak mungkin
lagi bisa lepas.
(TERTAWA)
Ah,
untuk apa cerita itu diulang lagi? Tidak ada gunanya. Berapa anakmu sekarang?
Sepuluh? Limabelas? Berapa perempuan berapa lelaki? Mirip siapa wajah
anak-anakmu? Sis? Kamu? Atau, kalian tidak ada anak sama sekali? Maaf jika
dugaanku tadi salah. Harus kuakui, pasti karena cemburu. Mungkin kalian
bahagia. Memang, seharusnya kita tetap bersahabat seperti dulu sebelum Sis jadi
batu sandungan bagi hubungan kita. Seharusnya kita bisa melupakannya. Harus.
Toh masa lalu tidak mungkin kembali. Mana mampu kita mengubah mundur jarum
waktu? Mustahil.
Waktu
undangan pernikahan kalian kami terima, jujur kuakui, seketika hati kami luka.
Luka paling buruk. Tak ada darah mengucur, tapi sakitnya bukan alang kepalang.
Kami merasa kalah, dikhianati, hancur. Kenapa justru kamu?
Ada
yang meraung-raung. Marah. Menangis seminggu. Ada yang langsung pulang kampung
karena putus-asa. Maria malah sudah siap-siap gantung diri. Untung ketahuan ibu
asrama dan sempat dicegah. Tuti paling parah. Hampir saja otaknya tak bisa
disembuhkan. Dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa, dan sekarang jadi kembang
rumah plesiran di Surabaya. Aku? Aku sakit panas dua bulan. Demam. Mengigau.
Menganggap dunia sudah kiamat.
Heran.
Siapa Sis? Mengapa begitu banyak gadis yang patah hati? Apa kelebihannya? Apa
bedanya dengan pemuda-pemuda lain? Tapi, aku pun tahu, betapa besar pengaruh
cintaku kepada Sis. Dulu, aku sering diganggu keinginan, mencari alamat kalian.
Dan kalau sudah ketemu, ingin kubunuh dia. Kucacah-cacah tubuhnya. Kusebar di
jalanan, biar jadi makanan anjing. Sudah dia jatuhkan putusan, menandatangani
nasib jelek puluhan gadis yang tak berdosa. Apa dia berhak? Sinting. Edan.
Setan. Sis tidak punya hak berbuat sekeji itu. Kami sengsara, serasa mati dalam
hidup yang merana. Dia nyaman, enak, nikmat, hidup berumahtangga, punya anak,
bahagia. Dia tidak peduli apa yang dialami gadis-gadis yang ditinggalkannya.
Tidak peduli janji-janji asmara yang pernah dia ucapkan kepada kami. Tidak
peduli.
Kamu
pasti tahu, atau paling tidak, merasa, Sis punya hubungan dengan banyak gadis.
Dia seperti lalat, menyebar telurnya sembarangan. Dan kami, yang sudah dia
buahi, hidup seperti belatung, coba menggapai langit, sendirian, lalu mati
begitu saja. Dia ungkap tipuan asmaranya kepada setiap gadis yang tak sadar
sudah dibohongi berkali-kali. Bagai ular dia mengigit dan menyesapkan racun di
jiwa kami. Kami kena racun cinta Sis. Celakanya, kami rela dipermainkan.
Pasrah, percaya saja, dan masih terus menyimpan harapan, mungkin, pada suatu
saat, cinta Sis akan datang. Sialan.
Sis
mata keranjang, don yuan picisan. Pedagang cinta. Pencipta air mata. Mau
menikah denganmu pasti ada maunya. Tapi, mungkin juga kamu yang terpandai
memasang tali jerat. Bisa dipahami kalau Sis bertekuk-lutut.
Kamu
bersiasat, menjebloskan Sis ke dalam suatu dilema sehingga dia terpaksa
mengambil tanggungjawab itu. Ayo, Is, tidak perlu membantah. Semua tahu. Aku
marah kalau kamu menyangkal. Cerita sudah beredar, gosip terlanjur menyebar.
Seluruh kota tahu. Kamu sebar kabar, Sis-lah bapak anak yang tengah kamu
kandung. Kamu tuntut supaya Sis segera menikahimu. Padahal apa nyatanya?
Tidak
ada bayi dalam kandunganmu, tidak ada kehamilan. Tidak ada alasan untuk
bertanggungjawab. Sialan. Sis bisa bebas. Tapi dia tetap memilihmu. Dan waktu
Sis akhirnya berikrar di depan penghulu, kamu puas. Taktik kasar, tipuan basi,
tapi harus diakui, di tanganmu, masih tetap ampuh.
Ah,
sudahlah. Semua sudah sejarah. Dan nyatanya aku harus bersyukur karena tidak
menikahi Sis. Belum tentu bisa kutemukan bahagia. Apalagi jika Sis tetap malas,
pengangguran, dan lontang-lantung. Lalu bagaimana nasib anak-anakku? Harus
rajin meminta bantuan kepada ayah-ibu dan saudara-saudaraku. Sampai kapan
mereka bisa tahan? Lalu, kalau mereka sudah bosan dimintai tolong, kami akan
mengemis di jalanan.
(SEJENAK
HENING)
Mengapa
diam saja? Mengapa tidak berterus terang? Aku buta keadaan kalian. Hanya bisa
meraba-raba, menduga-duga. Apa betul kalian bahagia? Atau sengsara? Is, bicara!
Apa? Bagaimana kondisi keuangan kalian? Sudah punya rumah sendiri? Atau masih
kontrakan? Atau kalian menumpang di rumah saudara? Punya mobil? Telepon? Teve?
Lemari es? Mesin cuci? Microwave? Punya kolam renang di halaman belakang rumah?
Atau kalian cuma peminta-minta? Bicara! Is, bicara! Aku akan mendengarkan saja!
(MENUNGGU
LAMA. TAK SEPATAH PUN JAWABAN)
Baiklah.
Mungkin kamu enggan. Tidak apa. Aku rela cerita lebih dulu, dengan jujur. Tapi
janji, sesudah aku, giliran kamu. Dan kamu juga harus cerita semuanya dengan jujur.
Begitu? Baik. Aku mulai kisahnya.
Sesudah
kalian menikah, dan aku sembuh, aku berkenalan dengan seorang pemuda. Anak
tunggal konglomerat pemilik pabrik besar pengolahan batubara di Kalimantan,
juga pemilik hotel-hotel bintang lima di Surabaya dan Jakarta. Kami bercintaan
hanya beberapa bulan, kemudian aku dia lamar. Kuterima lamarannya. Hidup
selanjutnya sudah bisa kamu tebak. Ya ‘kan? Dia pewaris usaha keluarga. Kami
bahagia. Anak lima. Dua lelaki, tiga perempuan. Kini, aku punya semua yang
diimpikan perempuan. Rumah besar dan mewah, dengan halaman luas di depan dan
belakang. Kebun ditumbuhi rumput Swiss, palem, oliander, beringin, flamboyan,
sawo dan agave. Ada kolam renang air dingin dan panas di halaman belakang.
Hidup serasa di surga. Seperti raja dan ratu, apa saja yang diminta segera
tersedia.
Sekarang
ini kami sedang menjalani bulan madu kedua. Kami mengunjungi tempat-tempat yang
pernah menjadi kenangan, bagiku dan bagi suamiku. Kami mengunjungi kota ini
juga. Aku sengaja mendatangi taman ini, sementara suamiku menggelar pertemuan
dengan para birokrat, membahas prospek masa depan kemajuan kota. Sungguh tidak
terduga, aku bisa ketemu kamu di sini. Ini sungguh luar biasa. Is, itulah
seluruh kisahku. Tidak banyak gejolak. Sederhana. Kisah hidup orang biasa yang
bahagia. Sekarang giliran kamu. Apa saja yang terjadi sesudah kalian menikah?
(DIAM.
TAK ADA JAWABAN)
Masa
tidak mau bicara? Betul-betul enggan omong? Atau kamu bisu? Is. Is. Bicara!
Omong! Is, kamu boleh tahu, antara kita sudah tidak ada ganjalan apa-apa lagi.
Sumpah. Aku rela kamu menikahi Sis, karena aku sudah bahagia. Aku punya
keluarga. Dengar Is, aku bahagia. Is, aku ba-ha-gi-a.
Aku
samasekali tidak punya niatan mengganggu kamu. Aku tidak punya minat ketemu
Sis, atau, barangkali kamu curiga aku akan mati-matian berusaha membujuk Sis
dengan harta. Untuk apa? Rumahtanggamu, hak kamu, tidak boleh diganggu. Punyaku
adalah milikku. Biarlah tetap seperti itu. Kita bersahabat lagi seperti dulu.
Jika kamu punya kesulitan, aku pasti akan menolong. Aku mampu menolongmu. Aku
kaya.
Is,
kalimatku bisa kamu pahami ‘kan? Aku sudah cerita jujur. Sekarang giliranmu!
Cerita saja apa adanya, jangan ditutup-tutupi. Hei, Is. Tidak ada gunanya
bohong. Apalagi menyembunyikan kenyataan. Nanti malam aku janji ketemu
kawan-kawan lama kita. Mereka pasti akan cerita juga tentang kamu. Tapi, terus
terang, aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri.
Is,
ini tanganku. Kita salaman. Aku bersedia jadi sahabatmu kembali. Selalu
bersedia. Bener. Tatap mataku. Hanya ada cahaya kejujuran. Kata-kataku keluar
dari nurani, dari lubuk hati yang paling dalam. Aku tulus. Sumpah.
(MENGULURKAN
TANGAN. DALAM BAYANGAN AS, IS DIAM SAJA DAN SAMASEKALI TIDAK MENYAMBUT ULURAN
TANGAN AS)
Mengapa?
Sumpahku masih kamu ragukan? Kalau begitu, bilang, apa yang harus kulakukan
supaya keraguanmu hilang. Tidak boleh curiga begitu. Apa alasannya? Tidak patut
mencurigai sahabat sendiri. Aku sahabatmu ‘kan?
(KEMARAHAN
AS MELUAP, MERASA DIREMEHKAN)
Bagus.
Niat baikku tidak kamu sambut. Tanggapanmu dingin. Respons nol. Kamu hina aku.
Mengapa? Apa Sis sudah cerita tentang aku, sehingga kamu masih tetap cemburu?
Bilang apa dia tentang aku? Apa saja upayanya agar kamu terus mendendam dan
membenci aku? Dia mengoceh, hubungannya dengan aku sudah sedemikian dalam?
Seharusnya bukan kamu yang dia nikahi tapi aku? Dia cerita, pelayanan cintaku
jauh lebih istimewa dibanding kamu? Itu kenyataan. Aku selalu berhasil membikin
puas hajat asmaranya. Dia selalu bilang begitu. Dia mengoceh apa saja Is?
Mengoceh apa saja? Iiis!
Tidak
bisakah kita akhiri cerita lama kita? Cerita usang tentang cinta yang cuma
bikin luka? Tidak bisakah kita tetap bersahabat, karena usia semakin tua? Luka
lama kita hanya akan menggerogoti usia. Kita akan kelihatan jauh lebih tua
dibanding usia yang sebenarnya. Dan itu sangat mengerikan.
Tapi,
baiklah. Kalau kamu tidak mau omong, aku yang akan berterusterang. Kukira,
tadinya aku mampu menyimpan semua rahasia, sanggup menahan semua yang kurasa.
Nyatanya tidak. Aku tidak sanggup lagi.
Tadinya,
kukira cerita tentang aku dan Sis akan kubawa mati sehingga tidak akan ada yang
tahu, kecuali Sis dan aku. Tapi, Is, kamu sudah memaksaku. Kamu berhasil
mendorongku ke sudut. Tak ada jalan lain. Aku harus cerita!
Sebelum
Sis berhubungan dengan kamu, dia sudah intim denganku. Kami seperti suami
isteri. Dan pernikahan kalian yang begitu tiba-tiba, aku rasakan seperti
geledek di siang hari yang menyambar kepala. Aku hancur berkeping-keping. Masa
depan habis. Aku edan, gila, sinting, hilang pegangan. Itulah hari kiamat
bagiku. Cerita tentang Meinar, Tuti, Maria, hanya karanganku belaka. Gabungan penderitaan
mereka bertiga, pada kenyataannya adalah gambaran dari seluruh penderitaanku.
Aku
pergi ke kota lain, dengan benih Sis di perutku. Sial. Nasib sedang
mempermainkan. Anakku, anak Sis lahir. Tapi cuma beberapa jam saja dia
menangis. Tuhan mengambilnya kembali. Aku semakin habis. Tidak punya apa-apa
lagi. Aku seperti Klara Zakanasian remaja, yang pergi dari Kota Gula dengan
benih Sang Pacar dalam kandungannya. Dan anakku juga akhirnya mati seperti
nasib anak Klara Zakanasian remaja. Mati.
Lalu
nasib menjebloskan aku ke dalam got yang bau dan bacin. Busuk sekali. Tapi
tidak bisa ditolak. Aku harus hidup, bangkit. Aku harus membuktikan kepada Sis
dan kamu; ini aku, tidak goyah dan bertahan. Aku tidak sudi kalian remehkan.
Aku harus kuat. Harus perkasa, dan seperti Nyonya Klara Zakanasian, aku harus
datang lagi kepada kalian, untuk membalas dendam.
Aku
benci kalian. Karena kalian aku jadi bola sepak nasib. Aku singgah dalam
pelukan banyak lelaki. Ganti-berganti. Seperti Klara Zakanasian. Aku jadi pelacur,
karena dunia menolakku. Segala kebahagiaan yang kuceritakan tadi, cuma khayal.
Aku tidak punya apa-apa, kecuali segala yang busuk. Itulah bedanya antara aku
dan Klara Zakanasian. Aku miskin, dia mahakaya.
Kalau
mampu, ingin kuhancurkan kebahagiaan kalian. Ingin kubunuh kamu dan Sis,
berkali-kali. Ingin kuhancurkan semua yang bisa membuat kalian bahagia. Kamu
dan Sis sudah merampok masa depanku, mencuri apa yang seharusnya jadi milikku.
Aku tidak akan pernah bisa melupakan kalian. Setiap kali bercermin, cuma kalian
yang kulihat. Setiap kali merenung, cuma bayangan kalian yang muncul. Setiap
kali menuju tidur nyenyak, kalian mendadak muncul dalam mimpi, membikin aku
terbangun dan berteriak penuh amarah. Bagaimana bisa bayang-bayang kalian
begitu melekat dalam benakku? Kenangan tentang kalian tak bisa dibuang begitu
saja. Bayangan kalian jadi pengganggu nomor satu dalam kehidupanku. Aku benci!
Benci!
(MERAUNG.
BERLARI PERGI. SUARA TERIAKNYA BERGEMA, MENGAGETKAN BURUNG-BURUNG. SEJENAK
KEMUDIAN BERANGSUR LENYAP. SEPI KEMBALI)
(MUSIK
DARI RADIO, MENDAYU-DAYU, ANTARA TERDENGAR DAN TIDAK)
SIAPA
LEBIH KUAT; LAUT ATAU DARATAN?
SIAPA
LEBIH TEGAR; BUMI ATAU OMBAK LAUTAN?
MANA
LEBIH TEPAT, SATU DARI DUA UNGKAPAN:
OMBAK
BERGULUNG LALU MENCIUM DARATAN,
ATAU
DARATAN MEMELUK ERAT OMBAK LAUTAN?
SEGALANYA
BISA MEMATOK KESIMPULAN TAK SAMA
APALAGI
JIKA DILIHAT DARI SISI YANG BERBEDA
JADI
SIAPA LEBIH KUAT; KAMU ATAU DIA?
(DAN
AS, SESUNGGUHNYA TIDAK PERGI. DIA HANYA DUDUK DI TEMPAT IS, YANG HADIR DALAM
BAYANGAN. SEBAGAI IS, DIA BANGKIT PERLAHAN. MENATAP JAUH. MALAM SUDAH JATUH.
BINTANG-BINTANG BERKEDIPAN DI LANGIT NUN JAUH. AS, ATAU IS, TETAP BEKU. SUARA
HATINYA BERGEMA)
Mulutku
terkunci. Memang. Aku tak tahu harus memulai dari mana. As tidak tahu,
perkawinanku dengan Sis hanya sanggup bertahan tujuh bulan saja. Sis ternyata
sudah pernah menikah dan punya dua anak. Dan pada malam wanita itu
memberitahuku, Sis pergi, begitu saja.
Sejak
itu aku tak pernah tahu di mana dia berada. Apa sekarang Sis masih hidup atau sudah
mati, aku pun tak tahu. Apa dia juga tetap berhasil menjual kebohongan serupa
kepada wanita lain? Atau malah sebaliknya? Siapa yang tahu? Bagiku, Sis sudah
lama mati.
Apa
cerita itu harus kubeberkan kepada As? Apa gunanya? Apa gunanya ...
(IS,
ATAU AS, DUDUK TERMANGU DI BANGKU TAMAN. SEPI SEMAKIN MENJADI. TAK ADA LAGI
SUARA BURUNG. JALANAN DEKAT TAMAN PUN SEAKAN MATI. MUNGKIN, HINGGA KINI, AS
ATAU IS, TETAP DUDUK DI BANGKU TAMAN ITU. MERENUNG. MENUNGGU. TAPI APA YANG
DITUNGGSiala
CAHAYA
PADAM
MONOLOG
SELESAI.
Komentar
Posting Komentar