Panggung Bebas

 PANGGUNG BEBAS

karya: Indah Widiastantri

Adaptasi Cerpen 'Iblis Ngambek' karya Indra Tranggono

Aktor :

1. Giring : Suryadi

2. Golek : Salina

3. Curmeh : Annisa

4. Gendes : Amel

5. Elok : Wawa

6. Sutadara

7. Ashar

8. Sahrul (Sebagai Lighting)

9. Ifa (Sebagai Tim Perlengkapan)

10. Yhana (Sebagai Tim Perlengkapan)

11. Syafa’ah (Sebagai Tim Perlengkapan)

12. Alfina (Sebagai Tim Artistik)

13. Hilwa (Sebagai Tim Artistik)

Di ruangan yang tak begitu luas, berdiri sebuah panggung yang disetting sebagai saksi perosesi latihan dengan dekor dibagian pojok panggung terdapat meja dikelilingi lima orang yang sudah bersiap-siap beradu dialog.

Musik tegang

Lampu nyala redup

SCENE 1

Golek : “Kita belum sepakat untuk membagi uang itu. Kamu jangan lancang, Giring!”

Giring : “Bukankah aku juga pemilik sah uang ini? Aku yang pertama kali menodongkan pistol ke arah kepala pegawai bank. Kalau aku tak pernah memulai, perampokan itu tak mungkin terjadi, Golek!”

Curmeh : “Nanti dulu Bang Giring. Ide perampokan itu muncul dari aku. Aku juga yang mengatur strateginya. Jadi, sesungguhnya akulah yang lebih berhak…”

Golek : “Tetapi, apa artinya ide tanpa keberanian? Akulah yang pertama kali melumpuhkan polisi dan satpam-satpam itu.”

Gendes : “Melumpuhkan polisi? Bukankah pistolku lebih dulu nyala dari pada pistolmu? Begitu polisi roboh, bersimpah darah baru perampokan dimulai!”

Elok : “Kenapa kalian ini sibuk menghitung jasa? Seolah-olah kalian ini merasa paling pahlawan dan sibuk menyematkan tanda jasa semuanya. Tetapi, apa artinya kepahlawanan tanpa peran ku? Barangkali kalian ini hanya menganggap aku ini coro, kecoa, atau setidaknya kambing congek. Tetapi, siapa yang berjaga-jaga di luar Gedung bank? Aku kan?! Sedikit saja aku lengah, paasti kalian habis. Begitu juga kalau aku tak cepat-cepat melarikan mobil, setelah kalian berhasil menjarah uang. Yah… begitulah aku. Bukan pahlawan, tapi menyelamatkan.”

Gendes : “Berlagak sekali kamu, Golek! Jangan mentang-mentang kamu bisa bawa mobil ya!”

Golek : “Sudah sudah! Tak ada gunanya kita menghitung jasa. Kita semua berjasa. Dan, siapa yang paling berjasa, dialah yang mendapat bagian paling banyak.”

Elok : “Sangat sulit mengukur besar-kecilnya jasa. Bagaimana kalau uang ini kita bagi rata, aku kira persahabatan jauh lebih berharga dari pada uang.”

Curmeh : “Itu kebijakan yang tidak bijaksana. Jelas tidak mungkin kita menyamakan jatah harimau dengan jatah kelinci!”

Elok :”He Curmeh, siapa yang kau anggap harimau dan siapa yang kau anggap kelinci? Itu deskriminatif!”

Curmeh : “Aku tak mau menujuk hidung. Tetapi…”

Giring : “Aku tau kita tidak keberatan jika yang dimaksud harimau itu ya… aku. Hee ingat, aku adalah satu-satunya laki-laki yang ada disini. Meskipun aku tidak enak untuk menyebut. Tetapi kalo kita berfikir obyektif…”

SCENE 2

Sutradara masuk

Sutradara : “ Stop! Stop! Kan, lupa lagi.. coba di lihat lagi naskahnya! Kira-kira di naskah ada nggak adegakn seperti itu? Ayo di baca lagi naskahnya. Kita ini menuju pementasan, masak kalian masih lupa terus. Ayo sekarang baca dulu naskahnya. setelah itu kita ulang dari awal. Lechting-lechting..”

Sahrul : “ shapp..”

(Mas Sahrul sebagi salah satu tim lighting masuk ke panggung)

Sutradara : “Mas Sahrul, minta tolong lampu cadangan ini di pasang ya, soalnya yang bagian pinggir ini kurang pencahayaan.”

Sahrul : “Oke, siap. sebentar. Perlengkapan ayo bawa skavoldingnya masuk”

Sutradara : “Eh tim artistik.. (Tim artistik masuk) sekalian dong. Aku mau setelah ini aktor take satu kali lagi, tapi make kostum sama make-up, jadi biar sekalian gitu. Bisa nggak?”

Alfina : “Iya bisa.. sebentar tak ambilin kostum sama alat make-upnya”

(Lighting dan tim perkap masuk dengan membawa skavolding dan lampu, kemudian disusul tim artistic dengan membawa kostum dan alat make-up) .

Sutradar : “Hati-hati, Mas. Tapi buruan ya Mas, kita harus cepat-cepat latihan soalnya kita di batesin sampai jam 20.00.”

Sahrul : “Iya, Wid… memang dari dulu kita sudah di sudah di batasi.”

Sutradara : “Iya, Mas. Minta tolong ya Mbak Al”

Alfina : “Iya,Wid.”

(Tim artistic mengarahkan aktor buat ganti kostum. Kemudian Sahrul naik dan tidak sengaja menjatuhkan lampu)

Sutradara : “Mas Sahrul loo…. Kan aku udah bilang, hati-hati, Mas. Kan, sekarang lampunya jatoh. Rusak kan.”

Ifa : “Sahrul, hati-hati dong!”

Yahana : “Iya ini, Mas Sahrul Gimana sih”

Sahrul : “Iya.. iya.. maaf ya maaf”

(Ashar masuk)

Ashar : “Kenapa, Rek. Ada ap aini?

Yhana : “Mas Sahrul itu lo nggak sengaja jatohin lampu,, Mas”

Ashar : “Hati-hati, Rul. Ini kita minim barang pementasan, apalagi lampu…”

Sahrul : “Iya..iya. sorry semua”

Ifa : “Ya sudah, biar nggak lama-lama ini buruan pasang, Rul. Kita jam 20.00 sudah harus keluar”

Sahrul : “Iya, Mbak P”

Ashar : “Heran banget sama UTM, kegiatan dibatesi kek gini. Jangankan jam malam Gedung kesenian aja kita nggak punya.”

Sahrul : “Ini udah selesai, kita balik dulu yo”

Ashar dan sutradara : “Iya… iya. Makasih”

Ashar : “Ini emang di buat seperti ini ta,Wid? Kok perlengkapannya masih nggak lengkap gini”

Sutradara : “Wah, kurang tau, Mas. Coba samian tanya sama CO petkapnya aja”

Ashar : “CO perkap siapa sih? Sini!”

(Syafaah sebgai CO tim perkap masuk)

Syafaah : “Iya, Mas. Gimana?”

Ashar : “Kira-kira peminjaman barangnya ini sudah semua ta? Atau gimana?”

Syafaah : “Jadi gini, Mas. (menjelaskan tentang perkembangan peminjaman barang)”

Ashar : “Ya sudah kalo seperti itu. Minyta tolong ya, barang-barang yang minjem itu jaga dengan baik…”

Syafaah : “Iya, Mas.”

Ashar : “Ya sudah.. sekarang lanjut dulu ini latihannya. Ini make kostum lengkap ta, wid?”

Sutradara : “Iya, Mas. Kita make kostum, make-up, lampu, dan music sekalian, Mas. Biar aktor feelnya dapet”

Ashar : “Ya sudah, bagus. Ayo langsung mulai kalo sudah selesai.”

Sutradara : “Iya, Mas. Sudah selesai ta, Mbak Al?”

Alfina : “Sudah deh, coba liat”

Sutradara : “Wes Okene pol. Makasih ya tim Artistik”

(Tim Artistik balik)

Sutradara : “Oke, sekarang kita mulai dari awal ya. Naskahnya aku bawa. Kalian harus fokus. Dan inget, ini aku make balon buat efek tembakan pistol. Cuma ada emapat balon, jadi kalian harus bener-bener fokus biar tepat. Oke, tim lighting minta tolong lampu dibagian awal di redupin lagi. Oke mantap. Music siap? lighting siap? oke, satu, dua, tiga, mulai”

SCENE 3

Golek : “Kita belum sepakat untuk membagi uang itu. Kamu jangan lancang, Giring!”

Giring : “Bukankah aku juga pemilik sah uang ini? Aku yang pertama kali menodongkan pistol ke arah kepala pegawai bank. Kalau aku tak pernah memulai, perampokan itu tak mungkin terjadi, Golek!”

Curmeh : “Nanti dulu Bang Giring. Ide perampokan itu muncul dari aku. Aku juga yang mengatur strateginya. Jadi, sesungguhnya akulah yang lebih berhak…”

Golek : “Tetapi, apa artinya ide tanpa keberanian? Akulah yang pertama kali melumpuhkan polisi dan satpam-satpam itu.”

Gendes : “Melumpuhkan polisi? Bukankah pistolku lebih dulu nyala dari pada pistolmu? Begitu polisi roboh, bersimpah darah baru perampokan dimulai!”

Elok : “Kenapa kalian ini sibuk menghitung jasa? Seolah-olah kalian ini merasa paling pahlawan dan sibuk menyematkan tanda jasa semuanya. Tetapi, apa artinya kepahlawanan tanpa peran ku? Barangkali kalian ini hanya menganggap aku ini coro, kecoa, atau setidaknya kambing congek. Tetapi, siapa yang berjaga-jaga di luar gedung bank? Aku kan?! Sedikit saja aku lengah, paasti kalian habis. Begitu juga kalau aku tak cepat-cepat melarikan mobil, setelah kalian berhasil menjarah uang. Yah… begitulah aku. Bukan pahlawan, tapi menyelamatkan.”

Gendes : “Berlagak sekali kamu, Golek! Jangan mentang-mentang kamu bisa bawa mobil ya!”

Golek : “Sudah sudah! Tak ada gunanya kita menghitung jasa. Kita semua berjasa. Dan, siapa yang paling berjasa, dialah yang mendapat bagian paling banyak.”

Elok : “Sangat sulit mengukur besar-kecilnya jasa. Bagaimana kalau uang ini kita bagi rata, aku kira persahabatan jauh lebih berharga dari pada uang.”

Curmeh : “Itu kebijakan yang tidak bijaksana. Jelas tidak mungkin kita menyamakan jatah harimau dengan kelinci!”

Elok :”He Curmeh, siapa yang kau anggap harimau dan siapa yang kau anggap kelinci? Itu deskriminatif!”

Curmeh : “Aku tak mau menujuk hidung. Tetapi…”

Giring : “Aku tau, kita tidak keberatan jika yang dimaksud harimau itu ya… aku. Hee ingat, aku adalah satu-satunya laki-laki yang ada disini. Meskipun aku tidak enak untuk menyebut. Tetapi kalo kita berfikir obyektif…”

Golek : “Enak saja main klaim! Lantas kalau kamu harimau kami ini apa? Kelinci?! He Bang Giring, kita semua tau kalau kamu adalah satu-satunya laki-laki yang ada di sini. Tetapi Bang Giring, kamu hanya modal otot. Pegawai bank, polisis, satpam-satpam tidak akan pernah mengira bahwa perempuan bisa merampok. Kau adalah laki-laki yang beruntung yang bertemu dengan perempuan-perempuan seperti kita.

Giring : “Enak saja.. sudah sekarang begini saja, siapa yang berani membawa uang ini dan bisa lolos dari desingan pluru, itulah yang layak disebut harimau. Ayo siapa yang berani! Ayo siapa berani tunjuk jari! “

Gendis : “Kamu sendiri bagaimana? Siap?”

Giring : “Lo.. jangan aku. Aku kan pengusul.”

Curmeh : “Heeehh… kamu sendiri takut kan?”

Giring : “Ya… ya… sebenarnya tidak takut. Tapi, anak-anak ku kan masih kecil-kecil. Lagi pula istri ku sedang hamil.”

Gendes : “Hahahah… benar kan Bang Giring,kamu hanya modal otot!

Golek : “Kamu ini,Giring kayak para petinggi, Sukanya main kambing hitam.!”

Elok : “Aku kira, kita perlu cari jalan lain. Kamu punya usul?”

Golek : “Kita mesti menempuh jalan pistol!”

Serentak : “Maksudmu?”

Golek : “Ya… pistol ini kita isi satu pluru. Lalu kita putar. Kemudian moncongnya kita arahkan ke jidat kita. Kemudian kita Tarik picu. Dan… kita akan tahu siapa yang bertahan dan siapa yang roboh. Ini cara yang paling fire dan bijaksana. Okeh? Aku kok merasa mencium bau mayat ya? Jangan-jangan itu mayat kalian! Hahah. Hee kenapa diam? Sekarang tinggal pilih. Uang atau maut. Bagi yang berdarah tikus lebih baik mundur. Keberanian itu tidak bisa dipaksakan. Dan, ketakutan itu sangat manusiawi. Tak ada gunanaya berlagak gagah kalau akhirnya mati konyol”

Giring : “Bagaimana kalau kita foya-foya dulu?”

Gendis : “Ya. Kita harus menikmati uang ini dulu kawan…”

Curmeh : “Hedonis-hedonis kaki lima ini cuma memikirkan perut.”

Gendis : “Jangan sok suci kau, kau juga hedonis!”

Gendis reflek berlindung dibawah meja karena Curmeh hendak memukulnya

Golek : “Untuk menentukan siapa yang berhak memiliki harta ini, kalian jangan pake cara kanak-kanak dong!

Gendis kembali ke tempat

Gendis : “Ehehehe.. iya iya”

Golek mengambil kartu domino

Golek : “Sekarang kita undi pake kartu domino ini, cara mainnya siapa yang mendapatkan nomer urut paling tinggi, dia yang lebih dulu menembakan pistol ini ke kepalanya.”

Curmeh : “Sebentar. Kita tentukan dulu pistol siapa yang dipake. Emmmm bagaimana kalau pakai pistolku? Kebetulan pelurunya tinggal satu. Dan, aku sendiri tak tau di mana posisi peluru itu”

Elok : “Kamu jangan coba-coba mengkelabui kita. Bisa saja semua sudah kamu atur. Kita ini memang perampok, tetapi harus menjunjung tinggi etika permainan. Fair play! Sehingga kita bisa menjadi perampok yang berbudi luhur…”

Gring : “Lebih baik kita kumpulkan semua pitol kita. Keluarkan semua pelurunya.”

Aktor mengeluarkan pistol

Golek : “Sekarang kita undi”

Gendes : “Jangan hanya kamu yang mengocok kartu. Kita semua tahu, tanganmu punya mata.”

setelah Golek selesai mengocok kartu domino kemudian dilanjutkan Giring, Cermeh, Gendes dan yang terakhir Elok

Golek : “Sekarang kita banting kartu-kartu kita”

Elok : “Maaf. Bagaiman kalau kita tempuh dengan cara yang lebih manusiawi.”

Gendis : “Ayo banting kartumu, pengecut!”

Elok : “Aku tidak ingin mati. Aku belum siap mati…”

Golek : “Diam! Kamu yang pertama”

Gendes : “Cepat!”

Golek dengan badan yang gemeteran mengarahkan moncong pistol kekepalanya. Tetapi ternyata keberuntungan memihknya sehingga pistol tersebut tidak mengeluarkan peluru

Elok : “Terima kasih Tuhan… terima kasih Tuhan. Ternyata engkau juga mendengarkan doa ku, meskipun jiwaku ini kotor selalu. Percayalah Tuhan, jika aku memenangkan harta perampokan itu, aku akan lebih banyak beramal. Akan kusantuni orang-orang miskin, anak yatim..”

Gensed : “Diam! Permainan belum selesai! Sekarang giliran kamu Golek!”

Golek : “Ini adalah kenangan terindah dalam hidup ku. Aku telah bertekad mempertaruhkan hidupku dalam perjudian nasib. Dan, hanya sang pemberani yang akan meraih kelahiran Kembali..”

Curmeh : “Ayo cepat! Jangan malah ngoceh!”

Golek : “Baik. Sekarang sang pemberani sejati akan mengajari kalian untuk lolos dari kepungan maut untuk mereguk kemenangan”

Golek menembakan pistol kejidat dan mati

Elok : “Tuhan, ampunilah Golek. Dia orang baik meskipun hobinya merampok. Dia merampok karen hidup dan hari depannya telah dijarah para perampok lain yang lebih besar dan lebih kuat.”

Giring : “Jangan malah berkhotbah!”

Elok : “Sebentar. Meskipun Golek ini bajingan, dia juga punya hak mendapatkan kehormatan bagi kematiannya.”

Curmeh : ‘Iya, iya… kita tau. Tapi, ini sudah takdirnya”

Gendis : “Bagaimana kalau kita kuburkan dulu mayat Golek?”

Curmeh : “Enak saja, sekarang giliran kamu!”

Gendis : “Baik-baik, kalian tenang saja. Aku akan melakukannya”

Gendis mengarahkan pistol ke jidatnya dan akhirnya mati

Disusul Curmeh yang bernasip sama

Elok : “Sekarang kamu! Ayo pengecut! Hanya yang berdarah jawara yang berani menantang maut.”

Giring : “Bagaimana kalua uang ini kita bagi rata”

Elok : “Enak saja. Kamu yang bidikkan pistol ini atau aku yang membidikkan ke jidatmu!”

 Sutradara : “Oke. Sudah stop!”

Musik tegang

Lampu mati

SELESAI


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukun-dukunan

Kisah Cinta Hari Rabu

Pagi Bening